Oleh : dr. Sani Rachman Soleman
Kekerasan! Sebuah kata yang akhir-akhir ini muncul lagi ke permukaan dengan agenda utama Ahmadiyah. Atau bahkan kita jangan menggunakan kata kekerasan, bagaimana jika menggunakan kata anarkisme atau bahkan lebih sarkas, vandalism. Yang jelas, dari berita yang didengar menggembarkan bahwa kekerasan menjadi tema hangat dalam minggu ini. Substansi Ahmadiyah sebagai aliran baru digugat oleh ormas Islam seperti sebelumnya.
Terkadang, cobalah untuk berfikir dan merenungi kebebasan beragama berserikat dan berkumpul dijamin oleh konstitusi. Namun bagaimana setiap rakyat menjiwai semangat konstitusi untuk dapat di eksternalisai dalam kehidupan beragama. Saling menghormarti dan membangun budaya tepo seliro antar sesama tanpa diskriminasi dan penindasan. Saya teringat tentang sebuah cerita yang pernah diutarakan oleh Ayah dalam sebuah diskusi ringan dalam perjalanan ke kota. Dahulu di daerah Maluku, hidup sekelompok orang nasrani dan daerah tetangga sebelah hidup sekelompok muslim. Namun, kehidupan mereka sejahtera karena saling menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan beragama datu dengan yang lainnya. Setelah diselidiki ternyata mereka menanamkan budaya pela gandong. Ada semacam perjanjian persaudaraan antara dua agama tersebut untuk saling membantu jika terjadi musibah satu dengan yang lainnya. Saking eratnya hubungan ini, mereka menganggap seperti saudara kandung sendiri.
Singkat cerita, suatu hari terjadi konflik antara umat kristiani daerah tersebut dengan umat kristiani daerah lain. Konflik ini kemudian berlanjut menjadi konflik horizontal sesama kristiani karena ada salah seorang kerabat yang dilecehkan. Ketika permasalahan ini didiskusikan oleh kelompok muslim, muslim sebenarnya ingin mengambil jalan tengah tidak terlibat langsung dengan konflik tersebut. Namun, muslim sadar bahwa mereka sudah diikat dalam tali persaudaraan yang disebut pela gandong sehingga mengharuskan mereka ikut berperang melawan kriatiani daerah lain.
Semangat pela gandong itulah yang dikemudian hari menjadi symbol silatuhim yang tidak pernah terputus hingga akhir waktu. Jika kita cermati tentang kehidupan beragama kita akhir-akhir ini, apakah semangat pela gandong itu masih tumbuh sumbur dalam hati yang paling dalam atau bahkan sudah lebur dalam jerat pragmatism. Kasus Ahmadiyah misalnya, bagaimana seharusnya memposisikan diri ketika dualism syahadat dipertaruhkan. Apakah Ahmadiyah ini merupakan aliran atau agama.? Bagaimana sebaiknya orang awam menyikapi permasalahan ini? Disatu sisi mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar namun disisi lain dualism syahadat meruntuhkan nilai-nilai transenden. Pemerintah tidak bias hanya diam dengan kekuatan SKB tiga menteri digunakan sebagai pondasi dalam menjalankan kerukunan umat beragama. Harus ada tindakan konkrit bagaimana permasalahan ini tidak berlarut-larut. Menarik disimak pernyataan Hasyim Muzadi mantan ketua umum PBNU tentang Ahmadiyah, beliau berujar bahwa jika Ahmadiyah mau diakomodir dalam kerangkan umat beragama di Indonesia harus menjadi agama seperti Konghucu yang akhirnya disahkan sebagai agama resmi di Indonesia.
Saya berfikir untuk lebih moderat menyelami ranah-ranah asing dalam dunia profesi sebagai seorang dokter. Coba direnungi aksi anarkisme yang cenderung vandal justru menyebabkan perpecahan umat Islam itu sendiri. Namun mengapa tidak memerangi agama-agama yang notabene sudah jelas anti ketauhidannya. Jika memang ingin jihad, cobalah jihad pada agama-agama tersebut yang ada di Indonesia. Jangan hanya parsial saja sehingga kesannya setengah isi setengah kosong. Wallahualam.. Semoga permasalahan ini segera terselesaikan dengan solusi yang jitu pada Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai multikulturalisme dan pluralism seperti Indonesia. Semoga Alloh meridhoi kita semua..
Kekerasan! Sebuah kata yang akhir-akhir ini muncul lagi ke permukaan dengan agenda utama Ahmadiyah. Atau bahkan kita jangan menggunakan kata kekerasan, bagaimana jika menggunakan kata anarkisme atau bahkan lebih sarkas, vandalism. Yang jelas, dari berita yang didengar menggembarkan bahwa kekerasan menjadi tema hangat dalam minggu ini. Substansi Ahmadiyah sebagai aliran baru digugat oleh ormas Islam seperti sebelumnya.
Terkadang, cobalah untuk berfikir dan merenungi kebebasan beragama berserikat dan berkumpul dijamin oleh konstitusi. Namun bagaimana setiap rakyat menjiwai semangat konstitusi untuk dapat di eksternalisai dalam kehidupan beragama. Saling menghormarti dan membangun budaya tepo seliro antar sesama tanpa diskriminasi dan penindasan. Saya teringat tentang sebuah cerita yang pernah diutarakan oleh Ayah dalam sebuah diskusi ringan dalam perjalanan ke kota. Dahulu di daerah Maluku, hidup sekelompok orang nasrani dan daerah tetangga sebelah hidup sekelompok muslim. Namun, kehidupan mereka sejahtera karena saling menghormati dan menjunjung tinggi kebebasan beragama datu dengan yang lainnya. Setelah diselidiki ternyata mereka menanamkan budaya pela gandong. Ada semacam perjanjian persaudaraan antara dua agama tersebut untuk saling membantu jika terjadi musibah satu dengan yang lainnya. Saking eratnya hubungan ini, mereka menganggap seperti saudara kandung sendiri.
Singkat cerita, suatu hari terjadi konflik antara umat kristiani daerah tersebut dengan umat kristiani daerah lain. Konflik ini kemudian berlanjut menjadi konflik horizontal sesama kristiani karena ada salah seorang kerabat yang dilecehkan. Ketika permasalahan ini didiskusikan oleh kelompok muslim, muslim sebenarnya ingin mengambil jalan tengah tidak terlibat langsung dengan konflik tersebut. Namun, muslim sadar bahwa mereka sudah diikat dalam tali persaudaraan yang disebut pela gandong sehingga mengharuskan mereka ikut berperang melawan kriatiani daerah lain.
Semangat pela gandong itulah yang dikemudian hari menjadi symbol silatuhim yang tidak pernah terputus hingga akhir waktu. Jika kita cermati tentang kehidupan beragama kita akhir-akhir ini, apakah semangat pela gandong itu masih tumbuh sumbur dalam hati yang paling dalam atau bahkan sudah lebur dalam jerat pragmatism. Kasus Ahmadiyah misalnya, bagaimana seharusnya memposisikan diri ketika dualism syahadat dipertaruhkan. Apakah Ahmadiyah ini merupakan aliran atau agama.? Bagaimana sebaiknya orang awam menyikapi permasalahan ini? Disatu sisi mengajarkan amar ma’ruf nahi munkar namun disisi lain dualism syahadat meruntuhkan nilai-nilai transenden. Pemerintah tidak bias hanya diam dengan kekuatan SKB tiga menteri digunakan sebagai pondasi dalam menjalankan kerukunan umat beragama. Harus ada tindakan konkrit bagaimana permasalahan ini tidak berlarut-larut. Menarik disimak pernyataan Hasyim Muzadi mantan ketua umum PBNU tentang Ahmadiyah, beliau berujar bahwa jika Ahmadiyah mau diakomodir dalam kerangkan umat beragama di Indonesia harus menjadi agama seperti Konghucu yang akhirnya disahkan sebagai agama resmi di Indonesia.
Saya berfikir untuk lebih moderat menyelami ranah-ranah asing dalam dunia profesi sebagai seorang dokter. Coba direnungi aksi anarkisme yang cenderung vandal justru menyebabkan perpecahan umat Islam itu sendiri. Namun mengapa tidak memerangi agama-agama yang notabene sudah jelas anti ketauhidannya. Jika memang ingin jihad, cobalah jihad pada agama-agama tersebut yang ada di Indonesia. Jangan hanya parsial saja sehingga kesannya setengah isi setengah kosong. Wallahualam.. Semoga permasalahan ini segera terselesaikan dengan solusi yang jitu pada Negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai multikulturalisme dan pluralism seperti Indonesia. Semoga Alloh meridhoi kita semua..
No comments:
Post a Comment