Pages

Saturday, 1 May 2010

Komoditi dagang pilkada : Kebijakan Kesehatan


Sudah terbiasa terdengar dalam telinga kita semua setiap calon pemimpin gembar gembor konsep yang cukup menarik simpati sebagai komoditi dagang politik. Selain masalah pendidikan dan perekonomian, permasalahan kesehatan juga cukup mendapatkan tempat tersendiri di hati rakyat. Sayang sungguh sayang, ketika komoditi dagang politik yang cukup strategis ini hanya menjadi cibiran politk tanpa tahu bagaimana dapat mengaplikasikannya.


Pembangunan kesehatan kedepan yang harus diperhatikan adalah pembangunan berlandaskan kesetaraan. Masih banyak kesenjangan yang terjadi sehingga menyebabkan disparitas yang dalam antara health provider dengan patient. Dewasa ini topic yang menjadi buah bibir adalah jamkesmas (Jaminan Kesehatan masyrakat). Memang trobosan ini cukup efektif untuk mengcover golongan menengah kebawah agar mendapatkan kepastian dalam pelayanan kesehatan. Akan tetapi sentralisasi program ini harus sinergis dengan program daerah untuk dapat menutup jumlah kuota peserta jamkesmas yang tidak tercover, bentuk kegiatan ini dapat di aplikasikan dalam bentuk jamkesda (Jaminan kesehatan daerah). Program tersebut harus memiliki kreativitas yang mumpuni sehingga dari tahun ke tahun pengembangan program ini cukup progresif.

Program jaminan kesehatan harus dapat bersifat “universal coverage”, seluruh elemen lapisan masyarakat harus mendapatkan kesehatan, titik tekan terletak pada peserta yang tidak tercover oleh jamkesmas dan elemen masyarakat yang memberikan kontribusi maksimal seperti tokoh masyarakat, kader kesehatan, anak berprestasi.

Bagi daerah yang dikaruniai APBD melimpah, pengembangan pelayanan kesehatan dapat dikonsep lebih luas lagi. Selama ini CT Scan dan MRI dan ada beberapa pemeriksaan lain yang tidak masuk kuota jamkesmas maupun jamkesda, kedepan batasan anggaran bukan lagi kendala berarti. Ada beberapa penyakit yang diagnosis pasti dengan dilakukan CT Scan dan MRI karena keterbatasan dana sehingga diagnosis pasti tidak dapat ditegakkan.

Pengembangan dokter keluarga agar seluruh rakyat mendapatkan kepastian pelayanan kesehatan. Selama ini dokter hanya terpusat pada daerah jawa, hanya segelintir yang bersedia terjun ke perifer. Pemerintah seharusnya dapat memberikan tunjangan ekstra bagi dokter-dokter yang bekerja di daerah perifer sehingga dokter sendiri bersedia untuk ditempatkan dimana saja. Adanya UUPK sebagai temeng untuk membatasi ruang gerak dokter menjadi ambiguitas karena miskinnya SDM dan alat didaerah terpencil sehingga tidak heran jika tenaga kesehatan selain dokter yang dapat memberikan terapi yang lebih banyak tidak sesuainya dibanding kesesuaiannya. Sekelumit cerita diatas belum cukup untuk mewakili jeritan hati rakyat Indonesia yang dahaga akan sebuah makna sehat.

No comments:

Post a Comment