Pages

Showing posts with label resensi buku. Show all posts
Showing posts with label resensi buku. Show all posts

Saturday, 23 October 2010

Resensi Buku : Isabella, Muslimah Penggenggam Surga

Sebuah buku yang menginspirasikan tentang perjalanan seorang wanita Kristen yang kuat menjunjug agamanya, namun kemudian hari kegalauan hati dan pikirannya memberikan pencerahan menjadi seorang muslim yang shalihah. Isabella adalah seorang anak kepala pendeta yang sangat ekstrim sekali dalam memahami keyakinan sebagai seorang Kristen. Cerita ini dimulai beberapa abad yang lalu di daerah Cordoba (Spanyol). Isabella didik dan dibesarkan dalam lingkungan Kristen, bahkan setelah dewasa dia disuruh oleh Ayahnya untuk mempelajari teologi Kristen sehingga dapat mewarisi keilmuan Ayahnya.

Suatu ketika, setelah pulang dari gereja, Isabella mendengar ceita duan orang muslim tentang substansi keimanan Kristen, penghapusan dosa. Kristus disalib karena mewarisi dosa Adam yang dibuang ke bumi sehingga dengan disalibnya Kristus dapat menghapuskan dosa-dosa umat manusia. Substansi ini yang menggoyahkan keimanan seorang Isabelle sehingga menyebabkan kegalauan dalam diri, dia tanyakan permasalahan ini kepada kedua orang tuanya dan guru spiritualnya namun jawaban yang diberikan tidak pernah memuaskan Isabella, sehingga suatu saat Isabella menantang pemuda tersebut untuk berdebat tentang teologi Islam versus Kristen.

Perdebatan itu kemudian dimenangkan oleh kelompok Islam yang ketika itu dipimpin oleh Umar Lahmi. Pendeta Kristen tidak dapat menjawab pertanyaan demi pertanyaan yang dilontarkan oleh Umar Lahmi sehingga harus dilakukan pertemuan kedua dan bahkan pertemuan ketiga. Pendeta Kristen, merasa terpojoj dengan segala pertanyaan yang dilontarkan oleh Umar Lahmi sehingga mereka akhirnya kesal dengan sikap Umar Lahmi, alhasil Isabella semakin goyah dengan keimanannya dan suatu ketika mendatangi komunitas Muslim Corboda dan berbicara penjang lebar tentang Islam sehingga akhirnya saat itu juga Isabella memutuskan untuk menjadi seorang Muslim.

Kabar Isabella menjadi Muslim tidak diketahui oleh kedua orang tuanya begitu juga dengan gurunya, Michael. Sampai beberapa waktu lamanya rahasia itu dipendam hingg akhirnya dia harus mengakui keimanan Islamnya dihadapan kedua orang tuanya dan begitu juga dengan gurunya. Mereka marah sejadi-jadinya, bagaimana bisa seorang teolog Kristen dan dididik sejak kecil dengan keimanan Kristen berbalik menjadi Muslim. Akibatnya, Isabella dihukum oleh pedeta-pendeta disuatu tempat yang sangat hina. Dalam sebuah penjara bawah tanah. Sedikitpun Isabella tidak pernah bergeming dengan keimanan Ketauhidannya walaupun dipaksa dan bahkan diancam dibunuh karena dia murtad. Adalah sahabat-sahabat baiknya yang menolongnya untuk terlepas dari belenggu penjara yang hina tersebut.

Akhirnya, Isabella tinggal dan hidup bahagia dengan kehidupan barunya sebagai seorang Muslim di Cordoba. Komunitasnya yang menguatkan dan meneguhkan keimananya. Bahkan dia menjadi seorang ustadzah yang terkenal di Cordoba. Isabella sudah mengislamkan ratusan Kristiani sehingga akhirnya dia menjadi seorang panutan bagi muslimah di Cordoba ketika itu.

Hidayah Allah itu ada.

Dari cerita tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa Allah akan memberikan hidayah kepada hamba Nya kapan saja dimana saja. Isabella yang notabene seorang teolog Kristen mampu menjadi seorang Muslim karena Allah memberikan pencerahan kepadanya. Islam sebagai agama yang rahmatan lil alamin membuktikan konsistensinya bahwa Islam agama damai. Islam bukan agama penindasan dan agama berlumuran darah seperti yang tertera dalam cerita tersebut. Asumsi yang dibangun oleh Kristen bahwa Islam agama yang berlumuran darah mampu ditepis dengan baik dalam buku tersebut. Sebaliknya, substansi Trinitas dan penghapusan dosa digugat oleh Muslim namun mereka tidak dapat menjawabnya. Buku ini sangat bagus untuk pencerahan kita dikala galau dan gelisah. Semoga dengan membaca buku ini dapat menginspirasikan Muslim untuk dapat meningkatkan Keimanan dan Ketaqwaan dihadapan Allah SWT. Amien.. Selamat membaca.

Monday, 22 June 2009

Dari Soekarno sampai SBY : Intrik dan Lobi Politik para Penguasa


Dalam sebuah tesisnya, Weber pernah menengarai adanya suatu perubahan sosial masyarakat. Perubahan itu tampak jelas ketika adanya suatu perbandingan yang membedakan antara masyarakat zaman sekarang dengan masyarakat sebelumnya. Menurutnya, perubahan itu tidak lepas dari perubahan intelektualitas yang dimiliki individu-individu yang terdapat dalam masyarakat itu sendiri.


Sebagai makhluk sosial, para presiden pun tidak lepas dari perbedaan antara presiden satu dengan lainnya. Termasuk dari aspek pemahaman maupun penyikapannya terhadap realitas kehidupan bangsa-negara. Memang, secara geneologis jabatan presiden yang dipikul mereka pun tidak jauh berbeda dalam tataran hukum yang mengikat dan mengatur. Namun, dalam praksisnya, pasti akan muncul sejumlah perbedaan. Dari perbedaan-perbedaan inilah yang kemudian menimbulkan sederet realitas kehidupan bangsa-negara yang tidak mesti sama.

Namun, dalam buku ini, tingkat perbedaan intelektulitas seorang presiden dengan presiden lainnya, terbukti bukan satu-satunya faktor yang mempengaruhi perubahan sosial bangsa-negara. Menurut Tjipta Lesmana, perbedaan tingkat emosional dan spiritual juga memiliki andil dalam perubahan. Artinya, tingkat perbedaan intelektualitas, emosionalitas, dan spiritulitas antara Soekarno, Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, dan SBY, berkorelasi positif dengan perbedaan pola interaksi sosial mereka. Dari perbedaan interaksi sosial yang berkaitan erat dengan pola komunikasi inilah yang akhirnya menghasilkan sesuatu yang berbeda pula. Mulai intrik, lobi politik hingga menyikapi kritik pun, mereka belum tentu sama dalam satu pola komunikasi politik.

Dalam buku ini, kajian komunikasi politik keenam presiden kita dibagi dalam enam bab. Bab I, di duduki oleh Soekarno. Dalam bab ini, presiden pertama kita ini tampak sebagai sosok yang memiliki ilmu yang dalam, piawai menganalisis situasi politik, matang dalam berpolitik, dan berani menghadapi tantangan dan tegas. Namun, ”Singa Podium” ini tak ubahnya seperti manusia biasa yang punya amarah dan salah. Dalam kemarahannya, ia sering menggebrak meja, menggedor kiri-kanan, menghardik sasaran dengan suara yang keras, menantang, memperingatkan dan mengancam (hlm.5). Semua itu sering disampaikannya dalam bahasa, meminjam istilah Edward T. Hall (1976), yang low context; jelas, tegas, dan tanpa tedeng aling-aling. Selain itu, ia sering menggunakan bahasa yang mengulang-ulang.

Berbeda dengan Soeharto, dalam bab II, yang lebih banyak mendengar dan mesem (senyum). Dalam berkata, ia sering menggunakan bahasa yang high context; tidak jelas, penuh kepura-puraan (impression management), teka-teki, rahasia, dan amat santun serta multi tafsir. Tidak jarang para menteri perlu merenungkan atau menanyakan kepada orang lain tentang arti dari kominikasi presiden terhadap mereka. Bagi yang tidak memahami komunikasi tingkat tinggi ini, perlu siap-siap menuai gebukan atau perlawanan rakyat dan lingkungan sekitar. Semisal, kasus penyerbuan massa PDI Soerjadi terhadap Kantor DPP PDI di Jalan Diponegoro pada 27 Juli 1996. Dalam kasus ini, Sutiyoso yang dianggap bertanggung jawab waktu itu, berdalih bahwa peristiwa itu berasal dari perintah ”atasan”. Sementara, Feisal Tandjung mengatakan bahwa Soeharto tidak pernah memerintahkan penyerbuan (hlm.67).

Uniknya, dalam kondisi marah atau tidak suka pun, ”The Smiling General” ini menggunakan bahasa high context pula. Semisal, ketika ada menteri yang laporan atau dipanggil diruang kerja presiden telah dipersilahkan meminum minuman yang tersedia, berarti diperintahkan segera untuk pamit. Meski begitu, Soeharto juga pernah menggunakan bahasa low context.

Berbeda lagi ketika Presiden BJ. Habibie marah. Dalam bab III, ia tampak menggunakan bahasa low context. Ketika marah, ia sering melototkan mata kepada yang dimarahi, raut muka memerah dan suara keras. Ia juga dikenal sebagai sosok yang temperamental. Meski cerdas, ia cepat emosi dan cepat marah, terlebih ketika ditantang, dikritik, dan didebat. ”Anehnya, tidak ada satupun menteri yang takut”, menurut informan Hendropriyono (hlm.159).

Dalam bab IV, ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) marah, kadang menggebrak meja dan atau mengancam. Meski begitu, Gus Dur tidak lepas dari sifat gampang tidur dan humorisnya. Sering dalam setiap sidang kabinet yang berlangsung sejak pukul 10.00 WIB, Gus Dur melakukan ritual tidur. Ketika salah atau mendapat konfirmasi dari orang yang merasa dirugian, Gus Dur sering menanggapinya dengan santai. ”Oh, begitu, ya? Ya, Sudah. Enggak usah dipikirin...!”, jawabnya (hlm.199).

Sedangkan Megawati, dalam bab V, setiap marah suka menghardik korbannya. Semisal, ketika Megawati sedang menghadiri acara dengan sejumlah kerabatnya di restoran sebuah hotel mewah di Singapura. Dalam acara itu, Roy BB. Janis dihardik habis-habisan di depan umum akibat kedatangannya tidak diundang (hlm.283). Selain itu, ia juga terkenal pendendam. SBY merupakan salah satu contoh yang menjadi korban sifat pendendam itu. Dalam debat calon presiden 2004, misalnya, gara-gara menaruh dendam dengan SBY, Megawati mengajukan syarat kepada penyelenggara acara untuk menghapus acara jabat tangan antar calon. Dalam pelantikan Presiden SBY pun, Megawati tidak mau menghadirinya.

Dalam berkomunikasi, menurut penulis, Megawati tidak bisa efektif. Ia lebih suka diam atau menebar senyum dari pada berbicara. Selama berpidato, suaranya tampak datar, nyaris tidak ada body language sama sekali. Ia membaca kata per kata secara kaku, seolah takut sekali pandangannya lepas dari teks pidato di depannya (hlm.247). Ironisnya, dalam setiap pembicaraan dengan orang-orang dekatnya lebih banyak membicarakan shopping dari pada soal-soal yang berkaitan dengan bangsa dan negara. Dalam menghadapi kritik, ia sering tidak tahan, alergi kritik (hlm.265).

Meski tidak jarang menuai kritik, dalam bab VI, SBY tampak merasa gerah pula. Bahkan, SBY sering balas mengkritik bagi orang atau pihak yang berani mengkritiknya, termasuk kebijakan pemerintah. Namun, dalam setiap pembicaraannya, SBY tergolong cukup hati-hati. Seolah-olah setiap kata yang keluar dari bibirnya diartikulasikan secara cermat. Dalam perspektif komunikasi, SBY tergolong dalam lower high context. Ia gemar menggunakan analogi dalam menggambarkan suatu masalah dan tidak bicara secara to the point. Hanya hakikat suatu permasalahanlah yang sering disampaikannya. Dalam berbagai kesempatan, SBY seperti sengaja tidak mau memperlihatkan sikapnya yang tenang, tetapi membiarkan publik menebak-nebak sendiri.

Tidak sedikit informasi tentang komunikasi keenam presiden kita dalam buku ini. Selain unik, bikin tercengang, tertawa, dan kesal, buku ini memberikan berbagai wawasan terkait kepribadian beberapa presiden yang pada pemilu tahun ini hendak tampil sebagai calon presiden lagi. Namun, untuk mengetahui apakah dari sejumlah presiden itu tergolong –meminjam istilah Kurt Lewin- Authoritarian, Participative, atau Delegatif, pembaca dipersilahkan menyimpulkan sendiri.***

(MG. Sungatno/Ketua Lembah Kajian Peradaban Bangsa (LKPB) Yogyakarta)
Sumber : oase.kompas.com

Saturday, 9 May 2009

Resensi Buku : TIMOR TIMUR Satu menit terakhir, catatan seorang wartawan



Peristiwa lepasnya Timor Timur (Timtim) dari Indonesia diwarnai berbagai konflik, baik secara politik maupun sosial. Bahkan konflik tersebut berujung pada pertumpahan darah. Hal yang mengusik keingintahuan adalah, bagaimana seorang juru warta harus bersikap di tengah konflik tersebut.

Itulah yang dicoba disampaikan buku ini. Penulisnya, CM Rien Kuntari, tidak hanya mengisahkan berbagai peristiwa yang terjadi di Timtim baik menjelang maupun sesudah jajak pendapat, tetapi juga bagaimana ia sebagai seorang wartawan harus bertindak dan bersikap di tengah pihak-pihak yang sedang bertikai.


Dalam buku ini, Rien menyampaikan banyak pengalamannya selama melakukan tugas jurnalistiknya yang mungkin tidak pernah ia tulis dalam pemberita. Salah satu alasannya adalah untuk meredam konflik ataupun gesekan sosial yang semakin melebar. Sebab, seperti dikisahkan Rien, tulisan dalam media dapat mengubah sikap kelompok-kelompok tertentu di Timtim dalam sekejap. Kemarahan kelompok pro-integrasi dan pro-kemerdekaan dapat terpicu setelah mengetahui tulisan yang dimuat di dalam media.


Bahkan tidak jarang tulisan tersebut dapat memunculkan tuduhan dan "cap" tertentu pada sebuah media, misalnya media yang mendukung integrasi, atau media yang justru mendukung kemerdekaan Timtim. Bahkan, karena hal itu, acap kali wartawan dari media yang bersangkutan menjadi sasaran kemarahan kelompok-kelompok yang bertikai.
Rien misalnya pernah menjadi target kemarahan pasukan milisi. Kelanjutannya, muncul skenario untuk menculik dan "menghabisi" wartawan Kompas (penulis adalah wartawan harian Kompas) tersebut. Menurut informasi yang ia dapat, rencana tersebut dikeluarkan dalam rapat tertutup antara pihak pro-otonomi yang melibatkan pasukan Aitarak dan FPDK (Forum Persatuan Demokrasi dan Keadilan).


Di mata kelompok pro-integrasi Rien merupakan wartawan yang telah melakukan dosa yang tidak terampuni, yakni memberikan berita yang seimbang dalam pemberitaan untuk pihak pro-kemerdekaan. Bahkan kepiawaian Rien dalam menjalin hubungan pihak-pihak pro-kemerdekaan telah memunculkan tuduhan dirinya bukan seorang nasionalis. Hal ini menguat ketika Kompas menurunkan laporan tentang Falintil dan wawancara khusus dengan Taur Matan Ruak dalam tiga halaman penuh pada HUT Falintil ke-24.


Padahal Rien sendiri hanya melakukan profesinya sebagai wartawan secara profesional, yakni tidak memihak pada salah satu kubu yang sedang berseberangan secara kepentingan. Namun di lapangan, seperti di wilayah konflik, kenetralan ini dapat diartikan lain. Dengan begitu, seorang wartawan memang dituntut lebih peka lagi dalam melakukan kegiatannya di wilayah tersebut.
Teror dan intimidasi terhadap wartawan memang hal yang biasa terjadi di Timtim pada masa sekitar jajak pendapat. Salah satu korban yang dicatat oleh Rien adalah wartawan Financial Times biro Jakarta, Robert Thoenes. Menurut Rien, wartawan itu tewas terbunuh dengan sayatan di seluruh bibir dan sebagian wajahnya.


Hal lain yang menarik dari buku ini adalah keterusterangan Rien dalam mengungkapkan fakta yang ditemuinya di Timtim, misalnya saja ia mengisahkan bagaimana kekejaman kaum milisi menghabisi rombongan misonaris yang hendak pergi ke Los Palos dari Baucau. Peristiwa ini terjadi sekitar bulan September 1999. Pada saat itu, sembilan orang tewas dengan menyedihkan, di antara para misionaris terdapat seorang sopir, dua orang pemudi, dan satu orang wartawan.


Rien sendiri mengakui, ketika dirinya menjadi target pembunuhan kaum milisi, ia mengalami ketakutan yang luar biasa. Sebagai manusia biasa, ia juga merasakan kengerian ketika warga Timtim yang sebelumnya tampak ramah, tiba-tiba berbalik menjadi tidak bersahabat dan bahkan menampakkan sikap permusuhan. Bahkan sebelumnya ia juga sempat dihadang moncong pistol yang dihadapkan ke arah kepalanya dari jarak dekat.


Namun, nalurinya sebagai wartawan tidak menyurutkan ia untuk kembali ke Timtim. Ia seperti merasa "gatal" jika hanya memantau perkembangan situasi di Timtim dari Jakarta. Ia merasa harus langsung berada di Timtim untuk melihat apa saja yang sebenarnya terjadi di wilayah itu, ketimbang mengutip dari berbagai media asing dengan berbagai versi.


Itu sebabnya, ketika INTERFET (International Force for East Timor) yang dikomandani Australia memintanya untuk kembali ke Timtim pada pertengahan Oktober 1999, ia langsung menyambutnya. Apalagi hal ini didukung oleh atasan Rien di harian tempatnya bekerja.
Mengenai hal ini, Rien menuliskan, bahwa pada akhirnya INTERFET membutuhkan media juga untuk mengimbangi pemberitaan negatif mengenai Australia. Padahal sebelumnya wartawan Indonesia betul-betul mengalami perlakuan diskriminasi dari pasukan tersebut.


Memang, persoalan Timtim tidak lepas dari persoalan hubungan antara Australia dan Indonesia. Sejak pasukan INTERFET tiba di Indonesia, hubungan kedua negara ini selalu memanas. Hal ini tidak lepas dari sikap Australia yang arogan terhadap Indonesia. Hal ini bahkan menyulut protes dari Indonesia.


Salah satu kasus yang memicu ketegangan antara Indonesia dan Australia adalah operasi rahasia yang dilakukan oleh Australia di wilayah Timtim. Meskipun hal ini diprotes oleh pihak TNI, namun pihak Australia tetap tidak ambil pusing. Pada perkembangan berikutnya, aksi Australia ini mengundang kemarahan sejumlah negara, termasuk Amerika. Kemarahan Amerika tersebut dipicu oleh keengganan Australia untuk membagi hasil dari operasi rahasia tersebut.


Hal lain yang menarik dalam buku ini adalah bagaimana sebagai seorang wartawan Rien memiliki tanggung jawab yang tidak sekadar menuliskan berita secara netral tetapi berpikir dengan spektrum ataupun kepentingan yang luas. Misalnya saja ketika ia menghadiri homili Uskup Mgr Filipe Ximenes Belo, SDB pada misa penutupan bulan Oktober, atau bulan devosi kepada Bunda Maria.


Dalam khotbahnya ketika itu, uskup justru menjelek-jelekkan Indonesia. Bahkan secara terang-terangan ia menyerang kaum milisi dengan menyatakan kaum milisi harus "mencuci tangan yang berlumuran darah", dan menebus dosa yang telah diperbuatnya secara setimpal.
Khotbah tersebut disampaikan secara berapi-api seakan tidak satupun kebaikan di pihak Indonesia. Padahal ketika kekacauan di Timtim memuncak justru dialah yang lari meninggalkan umatnya di Timtim, dan misionaris Indonesialah yang tetap berada di Timtim.


Isi khotbah tersebut membuat Rien bertanya-tanya, apakah benar ia tengah mendengar khotbah dari seorang penerima Nobel Perdamaian? Jika menuruti keinginan hati, mungkin Rien ingin menuliskan apa yang didengarnya itu ke dalam berita. Namun pada saat itu ia teringat kepada Xanana, Taur Matan Ruak, dan Falur Rate Laec. Ketiga tokoh Timtim yang tidak pernah lepas dari senjata itu justru selalu meniupkan angin perdamaian, rekonsiliasi dan perdamaian.
Akhirnya, Rien memilih memihak kepada Xanana dan kawan-kawannya. Ketimbang menuliskan berita yang berisi ucapan menyakitkan dari sang uskup yang mungkin akan menyulut gesekan yang lebih luas, baik ia menuliskan berita yang lebih menyejukkan setiap pihak. Sebab dengan begitu perdamaian di Timtim akan lebih mudah terwujud.


Secara garis besar, dalam buku ini dapat dilihat bagaimana seorang wartawan menjalankan tugasnya. Wartawan tidak hanya dituntut untuk memiliki kepiawaian dalam menjalankan profesinya, serta keberanian dalam menghadapi situasi yang paling ekstrem, tetapi juga mempunyai hati untuk menentukan keutamaan. Virtus in medio, keutamaan itu ada di tengah.

Sumber : ulas-buku.blogspot.com

Monday, 2 February 2009

100 tahun Mohammad Natsir




Rangkaian peringatan 100 tahun Mohammad Natsir telah usai, dipuncaki dengan peluncuran buku dan situs internet tokoh ini pada Rabu (17/9) petang lalu.

Salah satu buku itu adalah 100 Tahun Mohammad Natsir-Berdamai dengan Sejarah yang berisi 38 tulisan kenangan dari berbagai tokoh. Sementara buku lainnya adalah Capita Selecta 3 yang berisi tulisan dan pidato Natsir dari tahun 1956 dan 1960. (Catatan: Capita Selecta 1 memuat tulisan Natsir dalam rentang 1936-1941, berisi pemikiran tentang kebudayaan, filsafat, pendidikan, agama, ketatanegaraan, dan politik, sedangkan Capita Selecta 2 memuat tulisan, pidato, dan wawancara Natsir dari tahun 1950-1955. Di dalam buku kedua inilah terdapat pidato monumental Natsir yang dikenal dengan sebutan ”Mosi Integral Natsir”.)

Dalam acara yang dihadiri oleh Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah dan sekitar 400 undangan, sosok Natsir seolah kembali ke dalam ruangan, dengan kenangan akan ketokohannya, kejujurannya, dan keteguhannya terhadap prinsip.

Natsir memang tokoh yang pantas dikagumi. Dari berbagai sisi yang bisa digali dari tokoh ini, dari buku Berdamai dengan Sejarah ingin dicuplikkan dua kenangan yang menggugah.

Penampilan di AMS

Setelah menyelesaikan pendidikan MULO (setingkat SMP) di Padang, Natsir melanjutkan ke sekolah menengah atas di AMS (Algemene Middelbar School) A-II Westers Klassieke Afdeling di Bandung. Di sini pula, menurut catatan Rosihan Anwar, Sutan Sjahrir belajar dari 1926- 1929. Di sekolah ini, selain harus belajar empat bahasa—Belanda, Inggris, Perancis, dan Jerman— siswa juga harus mempelajari bahasa Latin sehingga pelajar sekolah itu disebut juga Latinist.

Natsir, seperti ditulis oleh Taufiq Ismail, adalah pembaca buku yang sangat tekun, dengan disiplin luar biasa, menyelesaikan satu buku dalam seminggu. Toh, masih ada seorang guru Belanda yang mengejeknya karena dalam percakapan Natsir kurang lancar. Natsir jengkel dan belajar mati-matian sampai akhirnya ia ingin membuktikan diri dalam satu lomba deklamasi. Yang ia baca adalah syair Multatuli berjudul De Banjir. Ia mendapat tepuk tangan riuh dan meraih juara pertama. Guru Belanda tadi juga ikut tepuk tangan meskipun dengan lambat dan enggan.

Di kelas V (setara dengan kelas II SMA kini), Natsir bertemu lagi dengan guru Belanda tadi yang kini mengajar Ilmu Bumi Ekonomi. Guru yang sinis terhadap gerakan politik kebangsaan ini menantang murid, siapa yang berani membahas masalah pengaruh penanaman tebu dan pabrik gula bagi rakyat di Pulau Jawa. Ternyata yang berani angkat tangan hanya Natsir, yang lalu diberi waktu dua minggu untuk menuliskannya.

Natsir lalu ke perpustakaan Gedung Sate, mencari notulen perdebatan di Volksraad, menggali majalah kaum pergerakan, dan mengumpulkan statistik. Setelah jadi makalah, Natsir membacakannya di kelas selama 40 menit. Natsir membuktikan, rakyat tidak mendapatkan keuntungan dari pabrik gula, dan yang untung adalah kapitalis Belanda serta para bupati yang menekan rakyat untuk menyewakan tanah mereka dengan harga rendah, menjadikan mereka buruh dengan upah rendah, dan membuat mereka terjerat utang. Kelas sunyi senyap saat Natsir remaja membacakan makalahnya. Wajah guru Belanda tadi pun suram, tak menyangka ada murid kelas V AMS bisa membuat analisa semacam itu dalam bahasa Belanda yang rapi.

Mosi integral

Disinggung oleh berbagai penulis di buku Berdamai dengan Sejarah, mosi integral Natsir dikemas khusus dalam buku kecil yang dibagikan di sela-sela acara petang itu. Dalam buku kecil Mosi Integral Natsir: Dari RIS ke NKRI", Ketua Panitia Peringatan 100 Tahun Natsir, Laode M Kamaluddin, memberikan catatan ringkas atas mosi ini.

Mosi integral dengan tokoh utamanya Natsir, ia nilai sebagai prestasi gemilang dan monumental yang pernah dicapai oleh parlemen Indonesia. Natsir, tulis Kamaluddin, mampu menyatukan kembali Indonesia yang terpecah belah dalam pemerintahan negara-negara bagian atau federal buatan Van Mook menjadi NKRI yang kita kenal sekarang ini.

Mosi ini tidak lahir begitu saja. Terjadinya perdebatan di Parlemen Sementara Republik Indonesia Serikat (RIS) adalah merupakan titik kulminasi aspirasi masyarakat Indonesia yang kecewa terhadap hasil Konferensi Meja Bundar (KMB) yang berlangsung di Den Haag, Belanda, 23 Agustus-2 November 1949. Pihak yang termasuk menolak hasil KMB adalah Natsir yang waktu itu Menteri Penerangan (Menpen) dan Menteri Luar Negeri Haji Agus Salim. Natsir menolak jabatan Menpen dan memilih berkonsentrasi memimpin Fraksi Masyumi di DPR-RIS. Salah satu alasan Natsir menolak jabatan itu adalah karena ia tak setuju Irian Barat tak dimasukkan ke dalam RIS.

Perdana Menteri (PM) RIS Mohammad Hatta menugaskan Natsir dan Sri Sultan Hamengkubuwono IX melakukan lobi untuk menyelesaikan berbagai krisis di daerah. Pengalaman keliling daerah menambah jaringan Natsir. Selain itu, kecakapannya berunding dengan para pemimpin fraksi di Parlemen RIS, seperti IJ Kasimo dari Fraksi Partai Katolik dan AM Tambunan dari Partai Kristen, telah mendorong Natsir ke satu kesimpulan, negara-negara bagian itu mau membubarkan diri untuk bersatu dengan Yogya—maksudnya RI—asal jangan disuruh bubar sendiri.

Lobi Natsir ke pimpinan fraksi di Parlemen Sementara RIS dan pendekatannya ke daerah- daerah lalu ia formulasikan dalam dua kata ”Mosi Integral” dan disampaikan ke Parlemen 3 April 1950. Mosi diterima baik oleh pemerintah dan PM Mohammad Hatta menegaskan akan menggunakan mosi integral sebagai pedoman dalam memecahkan persoalan.

Kisah lain

Tentu belum cukup mengungkapkan sumbangan Natsir hanya melalui uraian di atas. Masih bisa diceritakan kaitan Natsir dengan PRRI (Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia) di Sumatera dan Permesta (Perjuangan Semesta) di Sulawesi antara 1956 dan 1958. Staf Ahli Mensesneg Dadan Wildan Annas menyebut ”keterlibatan” dalam peristiwa itulah yang masih mengganjal perjalanan sejarah Natsir untuk diakui sebagai pahlawan nasional.

Namun, di luar itu, tokoh seperti Natsir telah memberikan sumbangan berharga kepada perjuangan bangsa Indonesia mencapai kemerdekaan. Tokoh itu, menurut Rosihan Anwar, mempunyai sifat tabiat sendiri dengan keunikannya. Namun, ia adalah putra Indonesia yang patut kita kenang sepanjang masa dan kita hormati dengan segala khidmat.

Oleh : Ninok Leksono

Sumber : www.cetak.kompas.com


Thursday, 29 January 2009

MEMBONGKAR KEGAGALAN CIA


Resensi Membongkar Kegagalan CIA

“…. Tim Weiner benar dengan mengatakan bahwa CIA saat ini tak lebih dari puing-puing keruntuhan yang sebentar lagi mungkin berubah menjadi debu.” Budiarto Shambazy, wartawan Kompas, kolumnis “Politika”

Mengapa negara adidaya, lembaga spionasenya seperti tak punya daya? Mengapa “polisi dunia”, sekaliber AS, agen-agen dinas rahasianya beroperasi serampangan? Inilah keprihatinan mendasar Tim Weiner dalam buku yang memenangi berbagai penghargaan ini sampai pada kesimpulan bahwa sejarah operasi intelijen CIA yang telah berusia 60 tahun justru memangsa bangsa Amerika Serikat sendiri.

Menggunakan langgam reportase jurnalistik yang memikat, Tim Weiner, wartawan peraih Hadiah Pulitzer, menunjukkan bukti-bukti meyakinkan perihal kelemahan CIA yang memalukan. Di antaranya, agen-agen CIA mengetahui Tembok Berlin runtuh pada 1989 dari siaran televisi bukan dari pasokan analisis mata-mata yang bekerja di bawah tanah; ambruknya WTC, yang membelasah pada 11 September 2001, dengan telanjang memeragakan kepada dunia bahwa agen-agen CIA lumpuh dalam mengantisipasi serbuan teroris alumnus CIA sendiri.

Sebagai sebuah dinas intelijen terbesar di dunia, CIA melakukan blunder paling vital dalam sejarah panjang spionase: berbohong tentang eksistensi senjata nuklir Irak. Blunder itulah yang menjadi basis pengambilan keputusan politik yang paling keliru dalam sejarah kepresidenan AS, yakni menyerbu Irak sekaligus menumbangkan Presiden Saddam Hussein.

Buku ini diramu Tim Weiner dengan mempelajari 50.000 arsip CIA, wawancara mendalam dengan ratusan veteran CIA, dan pengakuan sepuluh direkturnya. Disajikan dengan gaya bertutur mengalir. Tim Weiner, bagaikan penulis thriller, menempatkan diri sebagai seorang tukang cerita kelas wahid.
Latar Belakang

Buku dengan tebal 858 halaman dalam edisi Bahasa Indonesia seharga Rp 120.000 ini menjadi buku kontroversial di Indonesia karena sekitar 5 halaman buku ini berisi pengakuan seorang pejabat tinggi CIA, Clyde McAvo yang menyatakan bahwa mantan Wakil Presiden, Adam Malik, sebagai agen rahasia CIA di Indonesia. Clyde McAvoy yang diwawancarai Tim Weiner pada 2005, mengaku telah merekrut dan mengontrol Adam Malik. McAvoy bertemu Adam Malik tahun 1964. Dalam buku itu dijelaskan bahwa CIA memberikan US$ 10 ribu untuk mendukung peran serta Adam Malik memberantas Gestapu. Karena berisi pernyataan tersebut, maka buku ini banyak mendapat kritik di Indonesia.

Terlepas dari benar atau tidaknya Adam Malik menjadi agen CIA, kita sebagai orang yang tidak terlibat (mengalami dan melihat) langsung kejadian Gestapu 1965, tentu harus bersikap netral. Kita tidak bisa percaya begitu saja pernyataan Mc Avoy, namun kita tidak harus juga menolak langsung tulisan Tim Weiner. Sebagai bangsa yang ingin maju, kita perlu bersikap kritis. Kritis menanggapi hal ini dengan rasionalitas dan berdasarkan fakta. Kita tidak boleh menvonis Adam Malik adalah agen CIA selama tidak ada fakta valid yang ditemui.
CIA dan 30 September 1965

Meskipun kita menyanggah keterlibatan Adam Malik dalam agen CIA, namun kita perlu meninjau ulang sejarah serta isi buku yang ditulis Tim Weiner. Buku ini bukanlah mendiskritkan bangsa Indonesia. Buku ini lebih memojokkan CIA sebagai dalang penghancur negara-negara yang bersebarangan dengan kepentingan Amerika Serikat. Dan buku tersebut memaparkan kegagalan-kegagalan yang dialami oleh CIA, agen rahasia yang paling bergengsi di dunia. Saya pikir, penulis tidak bermaksud memojokkan Indonesia ataupun Adam Malik, hanya saja Tim Weiner hanya ingin menunjukkan fakta kejahatan CIA. Pengakuan John Perkins dalam buku Confession of EHM dan John Pilger dalam film dokumenternya tentang Indonesia yang berjudul “The New Rulers of the World” mempertegas bahwa Amerika Serikat sangat berkepentingan menghancurkan pemerintahan Soekarno yang anti Imperaliasme Modern melalui korporasi dan kebijakan ekonomi dan politik kapitalis. Untuk menghancurkan kekuasaan Soekarno, sudah pasti harus menghancurkan penyokong Soekarno, yakni partai yang anti imperalias kapitalis pada saat itu yakni PNI yang dipimpin Bung Karno dan PKI. Dengan menjatuhkan Bung Karno, PNI akan lenyap. Dan untuk itu, PKI juga harus dihancurkan.

Setelah Bung Karno jatuh, kekuatan modal asing langsung masuk ke bumi pertiwi untuk mengeksploitasi sumber kekayaan alam. Dalam film dokumenternya, John Pilger (wartawan Australia) : “Dalam dunia ini, yang tidak dilihat oleh bagian terbesar dari kami yang hidup di belahan utara dunia, cara perampokan yang canggih telah memaksa lebih dari sembilan puluh negara masuk ke dalam program penyesuaian struktural sejak tahun delapan puluhan, yang membuat kesenjangan antara kaya dan miskin semakin menjadi lebar. Ini terkenal dengan istilah “nation building” dan “good governance” oleh “empat serangkai” yang mendominasi World Trade Organization (Amerika Serikat, Eropa, Canada dan Jepang), dan triumvirat Washington (Bank Dunia, IMF dan Departemen Keuangan AS) yang mengendalikan setiap aspek detail dari kebijakan pemerintah di negara-negara berkembang. Kekuasaan mereka diperoleh dari utang yang belum terbayar, yang memaksa negara-negara termiskin membayar $ 100 juta per hari kepada para kreditur barat. Akibatnya adalah sebuah dunia, di mana elit yang kurang dari satu milyar orang menguasai 80% dari kekayaan seluruh umat manusia.”

Dalam buku hasil dokumentasi John Pilgers, The New Ruler of the World : “Dalam bulan November 1967, menyusul tertangkapnya ‘hadiah terbesar’, hasil tangkapannya dibagi. The Time-Life Corporation mensponsori konferensi istimewa di Jenewa yang dalam waktu tiga hari merancang pengambilalihan Indonesia. Para pesertanya meliputi para kapitalis yang paling berkuasa di dunia, orang-orang seperti David Rockefeller. Semua raksasa korporasi Barat diwakili : perusahaan-perusahaan minyak dan bank, General Motors, Imperial Chemical Industries, British Leyland, British American Tobacco, American Express, Siemens, Goodyear, The International Paper Corporation, US Steel. Di seberang meja adalah orang-orangnya Soeharto yang oleh Rockefeller disebut “ekonom-ekonom Indonesia yang top”.

“Di Jenewa, Tim Sultan terkenal dengan sebutan ‘the Berkeley Mafia’, karena beberapa di antaranya pernah menikmati beasiswa dari pemerintah Amerika Serikat untuk belajar di Universitas California di Berkeley. Mereka datang sebagai peminta-minta yang menyuarakan hal-hal yang diinginkan oleh para majikan yang hadir. Menyodorkan butir-butir yang dijual dari negara dan bangsanya, Sultan menawarkan : …… buruh murah yang melimpah….cadangan besar dari sumber daya alam ….. pasar yang besar.”

Di halaman 39 ditulis : “Pada hari kedua, ekonomi Indonesia telah dibagi, sektor demi sektor. ‘Ini dilakukan dengan cara yang spektakuler’ kata Jeffrey Winters, guru besar pada Northwestern University, Chicago, yang dengan mahasiwanya yang sedang bekerja untuk gelar doktornya, Brad Simpson telah mempelajari dokumen-dokumen konferensi. ‘Mereka membaginya ke dalam lima seksi : pertambangan di satu kamar, jasa-jasa di kamar lain, industri ringan di kamar lain, perbankan dan keuangan di kamar lain lagi; yang dilakukan oleh Chase Manhattan duduk dengan sebuah delegasi yang mendiktekan kebijakan-kebijakan yang dapat diterima oleh mereka dan para investor lainnya. Kita saksikan para pemimpin korporasi besar ini berkeliling dari satu meja ke meja yang lain, mengatakan : “ini yang kami inginkan : ini, ini dan ini”, dan mereka pada dasarnya merancang infrastruktur hukum untuk berinvestasi di Indonesia.

Nyata dan secara rahasia, kendali dari ekonomi Indonesia pergi ke Inter Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang anggota-anggota intinya adalah Amerika Serikat, Canada, Eropa, Australia dan, yang terpenting, Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia.

Hal ini juga diperkuat oleh pernyataan oleh John Perkins, seorang EHM yang telah bekerja menghancurkan Indonesia, Panama, Paraguay dan pengakuan teman-teman John Perkins dalam buku “A Game As Old As Empire”.
Agen CIA di Indonesia era 60-an

Keberhasilan agen CIA dalam memenjarakan ekonomi Indonesia di rezim Soeharto dengan utang dan eksploitasi emas (Papua), migas dan sumber daya alam lainnya, tentu membutuhkan kaki tangan orang Indonesia sendiri. Sudah pasti ada orang-orang Indonesia yang menjadi penghianat yang menjual kehormatan dan kekayaan bangsa demi kepentingan pribadi maupun golongan.

Jadi kalau kita percaya John Pilger dan John Perkins, sejak tahun 1967 Indonesia sudah mulai dihabisi (plundered) dengan tuntunan oleh para elit bangsa Indonesia sendiri yang ketika itu berkuasa. Ditambah dengan tulisan Tim Weiner, sudah pasti ada agen CIA yang berasal dari elit bangsa. Siapakah itu?

Terlalu sulit untuk mengungkapkan siapakah saja orang-orang yang menjadi agen CIA. Kita hanya bisa berharap para peneliti dan sejarawan mengungkap misteri ini. Sejarah perlu ditelusuri untuk dipelajari. Agar generasi mendatang dapat belajar dari kesalahan dan terus melangkah sejarah yang membawa kebesaran bangsa ini.

Akhir kata, bukan hal yang tidak mungkin jika ada mantan pejabat Negara Indonesia di era orde baru yang menjadi pengabdi kepentingan Amerika Serikat. Tidak tertutup kemungkinan, para mantan pejabat tinggi Negara era Orba berusaha bekerja sama dengan Amerika Serikat dan agen CIA demi mendapat dukungan untuk membasmi golongan yang berseberangan (Bung Karno dan pendukungnya).

Kasus yang sama dengan Osama Bin Laden. Awalnya Osama dibantu CIA dan militer Amerika untuk memerangi Uni Soviet di Afganistan. Setelah berhasil mengusir Uni Soviet, dengan kematangan yang mantap, akhirnya Osama berbalik menyerang Amerika. Begitu juga, tidak tertutup kemungkinan ada oknum yang mendapat bantuan CIA dalam menggulingkan Bung Karno dan PKI, dengan berpikir bahwa setelah berhasil, maka mereka (oknum) dapat lepas dari pengaruh Amerika. Tapi, faktanya lebih dari 40 tahun, kita masih dipengaruhi oleh Amerika. Gerakan “Osama” yang gagal di Indonesia.

sumber : www.nusantaranews.wordpress.com