Partai Golkar dan Hanura telah resmi mengusung pasangan Jusuf Kalla dan Wiranto ke pilpres 2009. Pasangan yang paling awal mendeklarasikan diri ini tak hanya didukung oleh dua parpol tetapi juga 7 parpol yang tidak lulus parliamentary treshold.
Langkah politik yang berani dan terlalu cepat dilakukan oleh Golkar dengan mengusung JK sebagai Capres berdampingan dengan Wiranto. Dengan slogan "Lebih Cepat, Lebih Baik" harapan besar kemajuan bangsa ada dipundak kedua tokoh tersebut. JK-Win itulah jargon yang diusung oleh kedua tokoh untuk merebut simpati rakyat yang memilih.
Memang langkah berani Golkar tidak dapat dilepaskan dari langkah berani SBY dalam menetapkan kriteria Cawapres pendampingnya. Dengan menawarkan opsi 3 alternatif cawapres yang akan diusung oleh Golkar dengan harapan SBY memiliki kebebasan dalam memilih pasangan yang ideal. Hal itu justru menjadi bumerang bagi SBY dan Demokrat. Keputusan itu menuai badai dengan keluarnya Golkar dari koalisi mesra dengan Demokrat selam 5 tahun terakhir.
Puncaknya ketika dalam rapimnassus, para peserta dengan penuh emosional memilih keluar dari Demokrat dan mengusung Capres sendiri. Menurut informasi dalam media setak dan elektronik, masalah harga diri sebagai partai besar ditempatkan pada peak performance dalam koalisi dengan Demokrat. Alih-alih mempertahankan koalisi, demokrat malah menjatuhkan harga diri Golkar sebagai partai besar.
Dengan koalisi besar yang diusung dengan Gerindra, Hanura, PDIP dan partai lain siap untuk menahan laju Demokrat dengan SBYnya yang memiliki tingkat elektibilitas yang cukup tinggi. Koalisi besar yang digadang adalah mesin politik untuk dapat menggulingkan hegemoni Demokrat yang sedang naik daun dimata rakyat.
Memang tingkat elektabilitas JK win masih jauh dibanding dengan SBY sehingga untuk dapat mendapatkan kepercayaan dari konstituen harus bekerja ekstra keras. Menurut analisa penulis alasan mengapa JK memilih Wiranto sebagai pendamping adalah sosok wairanto yang masih memiliki kharisma terbukti sekitar 23 juta suara yag didapatkan Wiranto sebagai Capres golkar 2004 dapat memuluskan ambisi elite untuk merengkuh kekuasaan.
Wiranto dengan Hanura sebagai kendaraan politik mampu meraih 3,6% suara dibanding dengan Gerindara yang habis-habisan iklan di media cetak dan elektronik namun hanya meraup 4,3% suara dibawah PKB. Ini membuktikan dari segi logistik masih terdapat kekurangan akan tetapi dari segi efektifitas mesin politik dapat berjalan dengan baik.
Ada permasalahan yang cukup pelik. Ternyata dari intenral Golkar sendiri tidak solid dalam mendukung JK sebagai Capres, khususnya dari DPD II yang mempertanyakan mekanisme rapimnasus yang tidak melibatkan DPD II, menurut sebagian kalangan cara ini inkonstitusional. Menurut analisa penulis cara ini adalah salah satu cara untuk mempersempit ruang gerak Akbar tanjung yang dinilai masih mempunyai power dikalangan pengurus DPD II. Keretakan internal ini semakin diperparah dengan manuver internal DPP yang sebagian masih menginginkan duet dengan SBY melihat hasil pileg tidak cukup signifikan untuk dapat mengusung Capres.
Inilah politik, dinamika internal sangat mewarnai suasana sampai gong kampanya pilpres dimulai. Apakah JK Win mampu menjawab keraguan publik. Tidak ada yang tahu sampai waktunya tiba.
Langkah politik yang berani dan terlalu cepat dilakukan oleh Golkar dengan mengusung JK sebagai Capres berdampingan dengan Wiranto. Dengan slogan "Lebih Cepat, Lebih Baik" harapan besar kemajuan bangsa ada dipundak kedua tokoh tersebut. JK-Win itulah jargon yang diusung oleh kedua tokoh untuk merebut simpati rakyat yang memilih.
Memang langkah berani Golkar tidak dapat dilepaskan dari langkah berani SBY dalam menetapkan kriteria Cawapres pendampingnya. Dengan menawarkan opsi 3 alternatif cawapres yang akan diusung oleh Golkar dengan harapan SBY memiliki kebebasan dalam memilih pasangan yang ideal. Hal itu justru menjadi bumerang bagi SBY dan Demokrat. Keputusan itu menuai badai dengan keluarnya Golkar dari koalisi mesra dengan Demokrat selam 5 tahun terakhir.
Puncaknya ketika dalam rapimnassus, para peserta dengan penuh emosional memilih keluar dari Demokrat dan mengusung Capres sendiri. Menurut informasi dalam media setak dan elektronik, masalah harga diri sebagai partai besar ditempatkan pada peak performance dalam koalisi dengan Demokrat. Alih-alih mempertahankan koalisi, demokrat malah menjatuhkan harga diri Golkar sebagai partai besar.
Dengan koalisi besar yang diusung dengan Gerindra, Hanura, PDIP dan partai lain siap untuk menahan laju Demokrat dengan SBYnya yang memiliki tingkat elektibilitas yang cukup tinggi. Koalisi besar yang digadang adalah mesin politik untuk dapat menggulingkan hegemoni Demokrat yang sedang naik daun dimata rakyat.
Memang tingkat elektabilitas JK win masih jauh dibanding dengan SBY sehingga untuk dapat mendapatkan kepercayaan dari konstituen harus bekerja ekstra keras. Menurut analisa penulis alasan mengapa JK memilih Wiranto sebagai pendamping adalah sosok wairanto yang masih memiliki kharisma terbukti sekitar 23 juta suara yag didapatkan Wiranto sebagai Capres golkar 2004 dapat memuluskan ambisi elite untuk merengkuh kekuasaan.
Wiranto dengan Hanura sebagai kendaraan politik mampu meraih 3,6% suara dibanding dengan Gerindara yang habis-habisan iklan di media cetak dan elektronik namun hanya meraup 4,3% suara dibawah PKB. Ini membuktikan dari segi logistik masih terdapat kekurangan akan tetapi dari segi efektifitas mesin politik dapat berjalan dengan baik.
Ada permasalahan yang cukup pelik. Ternyata dari intenral Golkar sendiri tidak solid dalam mendukung JK sebagai Capres, khususnya dari DPD II yang mempertanyakan mekanisme rapimnasus yang tidak melibatkan DPD II, menurut sebagian kalangan cara ini inkonstitusional. Menurut analisa penulis cara ini adalah salah satu cara untuk mempersempit ruang gerak Akbar tanjung yang dinilai masih mempunyai power dikalangan pengurus DPD II. Keretakan internal ini semakin diperparah dengan manuver internal DPP yang sebagian masih menginginkan duet dengan SBY melihat hasil pileg tidak cukup signifikan untuk dapat mengusung Capres.
Inilah politik, dinamika internal sangat mewarnai suasana sampai gong kampanya pilpres dimulai. Apakah JK Win mampu menjawab keraguan publik. Tidak ada yang tahu sampai waktunya tiba.
No comments:
Post a Comment