Pages

Tuesday, 28 September 2010

Ukhti, kamu cantik sekali...


Ukhti, kamu cantik sekali

Tapi hanya di mata manusia. Sedangkan yang Maha Kuasa tak pernah memandang rupa atau pun bentuk tubuh kita. Namun Ia melihat pada hati dan amal-amal yang dilakukan hamba-Nya.

Ukhti, kamu cantik sekali

Tapi cantik fisik tak akan pernah abadi. Saat ini para pesolek bisa berbangga dengan kemolekan wajah ataupun bentuk tubuhnya. Namun beberapa saat nanti, saat wajah telah keriput, rambut pun kusut dan berubah warna putih semua, tubuh tak lagi tegak, membungkuk termakan usia, tak akan ada lagi yang bisa dibanggakan. Lebih-lebih jika telah memasuki liang lahat, tentu tak akan ada manusia yang mau mendekat.

Ukhti, kamu cantik sekali

Tapi kecantikan hanyalah pemberian dan untuk apa dibangga-banggakan? Sepantasnya kecantikan disyukuri dengan cara yang benar. Mensyukuri kecantikan bukanlah dengan cara memamerkan, memajang gambar atau mengikuti bermacam ajang lomba guna membandingkan rupa, sedangkan hakekatnya wajah itu bukan miliknya. Tidakkah engkau jengah bila banyak mata lelaki ajnabi yang memandangi berhari-hari? Tidakkah engkau malu ketika wajahmu dinikmati tanpa permisi karena engkau sendiri yang memajang tanpa sungkan. Ataukah rasa malu itu telah punah, musnah? Betapa sayangnya jika demikian sedangkan ia sebagian dari keimanan.

Ukhti, kamu cantik sekali

Tapi apa manfaat pujian dan kekaguman seseorang? Adakah ia akan menambah pahala dari-Nya? Adakah derajatmu akan meninggi di sisi Ilahi setelah dipuji? Tak ada yang menjamin wahai ukhti. Mungkin malah sebaliknya, wajah cantik itu menjadikanmu tak punya harga di hadapan-Nya, karena kamu tak mampu memelihara sesuai dengan ketentuan-Nya.

Ukhti, kamu cantik sekali

Kecantikan itu harta berharga, bukan barang murah yang bisa dinikmati dengan mudah. Dimana nilainya jika setiap mata begitu leluasa memandang cantiknya rupa. Dimana harganya jika kecantikan telah diumbar, dipajang dengan ringan tanpa sungkan. Dimana kehormatan sebagai hamba tuhan jika setiap orang, baik ia seorang kafir, musyrik atau munafik begitu mudah menikmati wajah para muslimah?

Ukhti, kamu cantik sekali

Alangkah indah jika kecantikan fisik itu dipadu dengan kecantikan hatimu. Apalah arti cantik rupawan bila tak memiliki keimanan. Apalah guna tubuh molek memikat bila tak ada rasa malu yang lekat. Cantikkan dirimu dengan cahaya-Nya. Cahaya yang bersinar dari hati benderang penuh keimanan. Hati yang taat senantiasa patuh pada syariat. Hati yang taqwa, yang selalu menjalankan perintah dan menjauhi larangan-Nya. Hati yang sederhana, yang tak berlebihan dalam segala urusan dunia.

Ukhti, kamu cantik sekali

Maka tampillah cantik di hadapan penciptamu karena itu lebih berarti dari pada menampilkan kecantikan pada manusia yang bukan muhrimmu Tampillah cantik di hadapan suamimu, karena itu adalah bagian dari jihadmu. Mengabdi pada manusia yang kamu kasihi demi keridhoan Ilahi. Tampillah cantik, cantik iman, cantik batin, cantik hati, karena itu lebih abadi.

Dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu berkata Rasulullah shalallahu alaihi wasallam bersabda : “Sesungguhnya Allah tidak melihat kepada jasad-jasad kalian dan tidak juga kepada rupa-rupa kalian akan tetapi Allah melihat kepada hati-hati kalian (dan amalan-amalan kalian)” (HR. Muslim)

Thursday, 23 September 2010

Konsep Praktek Klinik Keperawatan

Praktek keperawatan adalah tindakan mandiri perawat profesional melalui kerjasama berbentuk kolaborasi dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan atau sesuai dengan lingkungan wewenang dan tanggung jawabnya.(Nursalam,M.Nurs, 2002 : 81)
Menurut CHS (1983) praktek keperawatan sebagai tindakan keperawatan profesional menggunakan pengetahuan teoritik yang mantap dan kokoh dari berbagai ilmu dasar (biologi, fisika, biomedik, perilaku dan sosial) dan ilmu keperawatan dasar, klinik dan komunitas sebagai landasan untuk melakukan asuhan keperawatan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, Klinik adalah rumah sakit atau lembaga kesehatan tempat orang berobat dan memperoleh advis medis serta tempat mahasiswa kedokteran melakukan pengamatan terhadap kasus penyakit yang diderita para pasien.( Poerwodarminto, 2002)
Jadi praktek klinik keperawatan adalah tindakan mandiri yang dilakukan mahasiswa keperawatan di rumah sakit melalui kerjasama berbentuk kolaburasi dengan klien dan tenaga kesehatan lain dalam memberikan asuhan keperawatan atau sesuai dengan lingkungan wewenang dan tanggung jawabnya.
ICN mendefinisikan praktek keperawatan sebagai cara untuk membantu individu atau kelompok mempertahankan atau mencapai kesehatan yang optimal sepanjang proses kehidupan yang mengkaji status kesehatan klien,menetapkan diagnosa keperawatan, rencana, tindakan keperawatan untuk mencapai tujuan dan mengevaluasi respon klien terhadap intervensi yang di berikan. (Nursalam,M.Nurs, 2002 : 81)
Bila Artikel ini berkenan bagi AndaSilahkan DownLoadDisini

Makanan pantangan Untuk Penyakit asam urat

Penyakit asam urat adalah jenis rematik yang sangat menyakitkan yang disebabkan oleh penumpukan kristal pada persendian, akibat tingginya kadar asam urat di dalam tubuh. Sendi-sendi yang diserang terutama adalah jari-jari kaki, dengkul, tumit, pergelangan tangan, jari tangan dan siku. Selain nyeri, penyakit asam urat juga dapat membuat persendian membengkak, meradang, panas dan kaku.

Pantangan Untuk Penderita Asam Urat :
1. Alkohol, kopi & soft drink
2. Melinjo dan emping
3. Kacang-kacangan
4. Asparagus, jamur, bayam matang, dan sawi
5. Daging kambing
6. Jeroan dan gajih (lemak)
7. Kerang-kerangan
8. Bebek dan kalkun
9. Salmon, mackerel, sarden, kepiting, udang, dan beberapa ikan lainnya
10.Krim dan Es krim

Anjuran
Beberapa hal berikut dianjurkan untuk mengurangi asam urat:
1. Jangan minum aspirin
2. Perbanyak minum air putih-untuk mengeluarkan kristal asam urat di tubuh.
3. Makan makanan yang mengandung potasium tinggi seperti:
1.Sayuran dan Buah-buahan kaya Vit. C
2. Kentang
3. Alpukat
4. Susu dan yogurt
5. Pisang
Aktif secara seksual (Berita bagus! Seks ternyata memperlancar produksi urin sehingga menurunkan kadar asam urat).
Bila Artikel ini berkenan bagi AndaSilahkan DownLoadDisini

Sunday, 19 September 2010

Retinopati Diabetik


II.1 Anatomi dan Fisiologi Retina
Retina merupakan membran tipis yang terdiri atas saraf sensorik penglihatan dan serat saraf. Merupakan jaringan saraf mata yang di bagian luarnya berhubungan erat dengan koroid. Koroid memberi metabolisme pada retina luar atau sel kerucut dan sel batang. Sel kerucut dan sel batang mempunyai fungsi diantaranya :
Sel kerucut gunanya untuk photopic vision yaitu melihat warna, cahaya dengan intensitas tinggi dan penglihatan sentral (ketajaman penglihatan).
Sel batang gunanya untuk scotoptic vision yaitu untuk melihat cahaya dengan intensitas rendah tidak dapat melihat warna, untuk penglihatan perifer dan orientasi ruangan.
Bagian koroid yang memegang peranan penting dalam metabolisme retina adalah membran Bruch dan Sel epitel pigmen. Retina bagian dalam mendapat metabolisme dari A. retina sentral.

Retina terdiri dari macam-macam jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat mueller, membrana limitans interna dan eksterna sel-sel glia.
Retina terdiri atas 3 lapis utama yang membuat sinap saraf sensibel retina, yaitu sel kerucut dan sel batang, sel bipolar dan sel ganglion. Terdapat 10 lapisan yang dapat dibedakan secara histologi yaitu dari dalam keluar terdiri dari :
1. Membrana limitans interna
2. Lapisan serabut-serabut saraf (axon dari sel-sel ganglion)
3. Lapisan sel-sel ganglion
4. Lapisan plexiform dalam
5. Lapisan nuklear dalam (nukleus dari sel bipoler)
6. Lapisan plexiform luar
7. Lapisan nuklear luar (nukleus dari batang dan kerucut)
8. Membrana limitans eksterna
9. Lapisan batang dan kerucut (alat-alat untuk melihat penerima cahaya).
10. Lapisan epitel pigmen

Pada bagian post retina tidak terdiri atas 10 lapisan, hal ini untuk mmeudahkan sinar dari luar mencapai sel kerucut dan sel batang. Bagian ini disebut makula lutea yang pada pemeriksaan funduskopi koroid terlihat lebih jelas karena tipis dan adanya refleks fovea karena sinar dipantulkan kembali. Fovea sentralis merupakan bagian retina yang sangat sensitif dan yang akan menghasilkan ketajaman penglihatan maksimal atau 6/6. Bila terjadi kerusakan pada fovea sentral ini, maka ketajaman penglihatan sangat menurun karena pasien akan melihat dengan bagian perifer makula lutea.

Jalur penglihatan
Serat saraf sel ganglion adalah meneruskan seratnya menjadi saraf optik dan keluar melalui lamina kribrosa sklera. Setelah keluar dari bola mata, saraf optik dibungkus oleh selaput otak. Serabut yang berasal dari bagian perifer retina akan terletak di bagian perifer. Saraf optik serabut yang terletak dekat dengan papil saraf optik akan terletak di bagian sentral saraf optik. Serat papilomakula perlahan-lahan meletakan diri di bagian sentral saraf optik. Di daerah kiasma optik saraf berasal dari bagian temporal retina adalah terletak tetap pada bagian temporal kiasma sedang serat dari bagian nasal retina adalah bersilang pada kiasma optik sehingga terletak disisi lain dari pada jalur penglihatan. Serat ini akan masuk kedalam ganglion genikulatum lateral, melalui radiasi optik serabut ini akan mencapai korteks penglihatan.

II.2 Definisi
Retinopati diabetika adalah proses degenerasi akibat hipoksia di retina karena penyakit diabetes mellitus. Diagnosis retinopati diabetika ditegakkan secara klinis jika dengan pemeriksaan angiografi flurosensi fundus sudah didapatkan mikroaneurisma atau perdarahan pada retina di satu mata, baik dengan atau tanpa eksudat lunak ataupun keras, abnormalitas mikrovaskular intra retina atau hal-hal lain yang telah diketahui sebagai penyebab perubahan-perubahan tersebut (Michaelson, 1980).

II.3 Etiologi
Retinopati diabetika terjadi karena diabetes mellitus yang tak terkontrol dan diderita lama. Pada makula terjadi hipoksia yang menyebabkan timbulnya angiopati dan degenerasi retina. Angiopati dapat menyebabkan mikroaneurisma dan eksudat lunak. Sedangkan mikroaneurisma dapat menimbulkan perdarahan.

Faktor-faktor yang mendorong terjadinya retinopati adalah :
1. Terjadi karena adanya perubahan dinding arteri.
2. Adanya komposisi darah abnormal.
3. Meningkatnya agregasi platelet dari plasma menyebabkan terbentuknya mikrothrombi.
4. Gangguan endothelium kapiler menyebabkan terjadinya kebocoran kapiler, selanjutnya terjadi insudasi dinding kapiler dan penebalan membran dasar dan diikuti dengan eksudasi dinding haemorhagic dengan udem perikapiler.
5. Perdarahan kapiler dapat terjadi di retina dalam sybhyaloid dimana letaknya di depan jaringan retina. Hemoraghi tidak terjadi intravitreal tetapi terdapat dalam ruang vitreoretinal yang tersisa karena vitreus mengalami retraksi.
6. Aliran darah yang kurang lancar dalam kapiler-kapiler, sehingga terjadi hipoksia relatif di retina yang merangsang pertumbuhan pembuluh-pembuluh darah yang baru.
7. Perubahan arteriosklerotik dan insufisiensi koroidal.
8. Hipertensi yang kadang-kadang mengiringi diabetes.

II.4 Patofisiologi
Retinopati diabetika merupakan mikroangiopati, sebagai akibat dari gangguan metabolik, yaitu defisiensi insulin dan hiperglikemi. Peningkatan gula darah sampai ketinggia tertentu, mengakibatkan keracunan sel-sel tubuh, terutama darah dan dinding pembuluh darah, yang disebut glikotoksisitas. Peristiwa ini merupakan penggabungan ireversibel dari molekul glukose dengan protein badan, yang disebut glikosilase dari protein.

Dalam keadaan normal glikosilase ini hanya sekitar 4-9%, sedang pada penderita diabetes mencapai 20%. Glikosilase ini dapat mengenai isi dan dinding pembuluh darah, yang secara keseluruhan dapat menyebabkan meningkatnya viskositas darah, gangguan aliran darah, yang dimulai pada aliran didaerah sirkulasi kecil, kemudian disusul dengan gangguan pada daerah sirkulasi besar dan menyebabkan hipoksi jaringan yang diurusnya. Kelainan-kelainan ini didapatkan juga di dalam pembuluh-pembuluh darah retina yang dapat diamati dengan melakukan :

1. “Fundus fluorescein angiography”.
2. Pemotretan dengan memakai film berwarna.
3. Oftalmoskop langsung dan tak langsung.
4. Biomikroskop (slitlamp) dengan lensa kontak dari Goldman.
Mula-mula didapatkan kelainan pada kapiler vena, yang dindingnya menebal dan mempunyai afinitas yang besar terhadap fluoresein. Keadaan ini menetap untuk waktu yang lama tanpa mengganggu penglihatan. Dengan melemahnya dinding kapiler, maka akan menonjol membentuk mikroaneurisma. Mula-mula keadaan ini terlihat pada daerah kapiler vena sekitar makula, yang tampak sebagai titik-titik merah pada oftalmoskopi. Adanya 1-2 mikroaneurisma sudah cukup mendiagnosa adanya retinopati diabetika.

II.5 Klasifikasi
Menurut perjalanannya, retinopati diabetika dibagi menjadi retinopati diabetika type background (non proliferatif) dan retinopati diabetika type proliferatif. (Greenspen & Baxter, 1994 – Daniel W. Foster, 2000)
1. Retinopati diabetika non proliferatif
Retinopati diabetika non proliferatif merupakan stadium awal dari keterlibatan retina akibat diabetes mellitus yang ditandai dengan adanya microaneurisma, hemoragi dan eksudat dalam retina. Dalam stadium ini terjadi kebocoran protein, lipid atau sel-sel darah merah dari pembuluh-pembuluh kapiler retina ke retina. Bila proses ini sampai terjadi di makula yaitu bagian yang memiliki konsentrasi tinggi sel-sel penglihatan maka akan menimbulkan gangguan pada ketajaman penglihatan.

Retinopati diabetika non proliferatif terdiri atas :
a. Retinopati diabetika background
Retinopati diabetika dasar merupakan refleksi klinis hiperpermeabilitas serta inkompetasi dinding-dinding pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat-bulat dinamakan pembuluh darah. Pada kapiler terbentuk tonjolan kecil bulat dinamakan mikroaneurisma, sedang vena retina mengalami pelebaran. Pada retina terjadi perdarahan dengan bentuk nyala api (flame hemorages) dan bentuk bercak (blot hemorrhages) (Vaughan & Ashbury, 1995).
Kapiler yang bocor mengakibatkan sembab retina terutama di makula, sehingga retina menebal dan terlihat berawan. Walaupun cairan serosa terserap, masih ada presipitat lipid kekuningan dalam bentuk eksudat keras (hard eksudat). Jika fovea menjadi sembab atau iskhemis atau terdapat eksudat keras maka tajam penglihatan sentral akan menurun sampai derajat tertentu. Pada tahap ini umumnya tidak progresif (Vaughan & Ashbury, 1995).

b. Retinopati diabetika preproliferatif
Dengan bertambahnya progresifitas sumbatan mikro vaskular maka gejala iskemia melebihi gambaran retinopati diabetika dasar. Perubahannya yang khas adalah adanya sejumlah bercak mirip kapas (multiple cotton wool spots) atau yang sering disebut sebagai eksudat lunak atau soft eksudate yang merupakan mikro infark lapisan serabut saraf.
Gejala yang lain adalah kelainan vena seperti ikalan (loops) segmentasi vena (boxcar phenomenon) dan kelainan mikrovaskular intraretina, yaitu pelebaran alur kapiler yang tidak teratur dan hubungan pendek antara pembuluh darah (shunt) intra retina. Pada angiografi fluoresin dengan jelas terlihat adanya bagian yang iskhemis, non perfusi kapiler dan defek pengisian kapiler (Vaughan & Ashbury, 1995).
Perkembangan retinopati diabetika non proliferatif adalah sebagai berikut :
b.1. Kelainan mula-mula adalah rusaknya barier (sawar) darah retina (sel endotel kapiler retina dan sel epitel pigmen). Kebocoran ini akibat kenaikan kadar gula darah. Secara histologis terjadi penebalan membrana basalis kapiler dan hilangnya perisit (dalam keadaan normal satu endotel ada satu perisit).
b.2. Terjadinya microaneurisma, dimulai sebagai dilatasi kapiler pada daerah yang kehilangan perisit dengandinding tipis, mula-mula pada sisi vena kemudian juga pada sisi arteri.
b.3. Selanjutnya endotel mengalami proliferasi sehingga terjadi akumulasi material pada membrana basalis sekitar microaneurisma.
b.4. Meskipun membrana basalis tebal, tetapi karena permeabel terhadap air dan molekul besar, maka terjadi timbunan air lipid pada retina. Apabila kerusakan barier ringan akan terjadi timbunan cairan pada retina terutama makula (bintik kuning) dengan demikian terjadi penurunan visus dan kelainan persepsi warna.
b.5. Terjadi pula dilatasi vena, yang kadang-kadang ireguler.
b.6. Apabila dinding kapiler lemah, maka akan dan menyebabkan perdarahan intra retina. Perdarahan bisa berbentuk apabila letaknya dalam, atau berbentuk seperti nyala (frame shaped) apabila letaknya superfisial atau perdarahan subhyaloid apabila terletak antara retina dan badan kaca.
b.7. Selain terjadi perubahan retina vaskular seperti yang disebutkan di atas juga terjadi abnormalitas koriokapilaris yang berupa penebalan membrana basalis.

Gejala klinik
- Makula udema
- Mikroaneurisma
- Penimbunan air dan lipid
- Hemorhage intra retinal
- Daerah hipoksia atau iskemia
- Eksudat lunak

2. Retinopati diabetika proliferatif
Iskemia retina yang progresif merangsang pembentukan pembuluh darah baru yang rapuh sehingga dapat mengakibatkan kebocoran serum dan protein dalam jumlah yang banyak. Biasanya terdapat di permukaan papil optik di tepi posterior daerah non perfusi. Pada iris juga bisa terjadi neovascularisasi disebut rubeosis.
Pembuluh darah baru berproliferasi di permukaan posterior badan kaca (corpus vitreum) dan terangkat bila badan kaca bergoyang sehingga terlepas dan mengakibatkan hilangnya daya penglihatan mendadak.

Retinopati diabetika proliferatif terbagi dalam 3 stadium :
Stadium 1 : Aktif : Disebut stadium “florid”, basah, kongestif dekompensata lesi intra retina menonjol, perdarahan retina, eksudat lunak, neovaskularisasi progresif cepat, proliferasi fibrosa belum ada atau minimal, dapat terjadi perdarahan vitreus, permukaan belakang vitreus masih melekat pada retina bisa progresif atau menjadi type stabil.
Stadium 2 : Stabil : Disebut stadium kering atau “quiescent”, lesi intra retina minimal neovaskularisasi dengan atau tanpa proliferasi fibrosa, bisa progresif lambat atau regresi lambat.
Stadium 3 : Regresi : Disebut juga stadium burned out, lesi intra retina berupa perdarahan, eksudat atau hilang, neovaskularisasi regresi, yang menonjol adalah jaringan fibrosa (Kingham, 1982).

Gejala klinik :
- Makula udema
- Eksudat
- Viterus hemorhage (perdarahan vitreus)
- Neovasculatisasi
- Ablasi retina
- Jaringan ikat vitreo retinal
- Perdarahan di subhyaloid

II.6 Pemeriksaan Penunjang
Semua penderita diabetes mellitus yang sudah ditegakkan diagnosanya segera dikonsulkan ke dokter spesialis mata untuk diperiksa retinanya. Jika didapatkan gambaran retinopati diabetika segera lakukan pemeriksaan di bawah ini :
1. Angiografi Fluoresein
Pemeriksaan ini adalah pemeriksaan sirkulasi darah retina serta penyakit-penyakit yang mengenai retina dan khoroid. Pemeriksaan ini akan menunjukkan aliran darah yang khas dalam pembuluh darah saat cairan fluoresein yang disuntikkan intra vena mencapai sirkulasi darah di retina dan khoroid. Angiografi fluoresein akan merekam gambaran rinci yang halus dari fundus pada bagian yang berukuran lebih kecil dari kemampuan daya pisah (minimum separable) penglihatan mata masih dapat diperiksa dengan pembesaran rekaman angiografi fluoresein (Michaelson, 1980).

Gambaran retinopati diabetika dengan angiografi fluoresein :
a. Retinopati Background, bentuk juvenil
Disini ditemukan proliferasi dan hipertrofi venula retina disertai pembentukan rete mirabile, pelebaran cabang-cabang vena berbentuk kantong dan aneurisma kapiler. Terdapat area iskhemik terbatas (Hollwich, 1993).
b. Retinopati Background, bentuk senil
Perdarahan superfisial bentuk nyala api dan perdarahan dalam bentuk bintik-bintik. Endapan lemak pada polus posterior, kadang tersusun dalam bentuk rangkaian bunga (retinopati circinata), biasanya pembuluh darah retina beraneka ragam dan dindingnya terlihat menebal (sklerosis).
Pada retinopati background terlihat mikroaneurisma, perdarahan bentuk bintik-bintik dan bercak, eksudat keras berwarna kuning yang terdiri atas protein dan lipid yang terdapat di lapisan pleksiform luar yang dikemudian hari juga terjadi makulopati. Jika pasien mengidap hipertensi kardiovaskular, bercak yang mirip kapas timbulnya akan lebih awal (Hollwich, 1993).
c. Retinopati proliferatif
Pada stadium ini terdapat pembentukan pembuluh darah baru yang mengakibatkan neovaskularisasi yang tumbuh menonjol di depan retina terutama pada permukaan belakang badan kaca yang mengalami ablasi (Hollwich, 1993).

2. Elektroretinografi
Pada pemeriksaan ini dilakukan perekaman kegiatan listrik retina yang sangat berguna untuk memperoleh gambaran yang tepat mengenai fungsi retina yang masih tersisia.

II.7 Pengobatan
Therapi retinopati diabetik adalah fotokoagulasi. Therapi ini menurunkan insidensi perdarahan dan pembentukan parut dan selalu merupakan indikasi jika terjadi pembentukan pembuluh darah baru. Juga berguna dalam therapi mikroaneurisma, perdarahan dan edem makuler bahkan jika tahap proliferatif belum mulai. Fotokoagulasi panretina sering digunakan untuk mengurangi kebutuhan oksigen retina dengan harapan stimulasi untuk neovaskularisasi akan berkurang. Dengan tehnik ini beberapa ribu lesi terjadi selama 2 minggu. Komplikasi fotokoagulasi masih dapat diterima. Sebagian kehilangan penglihatan perifer tidak dapat dihindari dengan pembakaran luas. Tehnik pembedahan lainnya, vitrektomi, pars plana, digunakan untuk terapi perdarahan vitreus dan pelepasan retina yang tidak teratasi. Komplikasi pasca operasi lebih sering dibandingkan pada fotokoagulasi dan termasuk robekan retina, pelepasan retina, katarak, perdarahan vitreus berulang, glaukoma, infeksi, dan kehilangan mata. Ada harapan bahawa inhibisi angiogenesis oleh obat seperti beta-siklodekstrin tetradekasulfat yang menyerupai heparin analog dalam percobaan dapat mencegah retinopati proliferatif. Semua pasien dengan retinopati diabetik harus dipantau oleh ahli mata (Daniel W. Foster, 2000)

DAFTAR PUSTAKA

1. Djokomoeljanto R., Soetardjo, Harmadji, Darmojo R.B., Tajima N., Ikeda Y., Abe M., 1976. A Community Sutdy of Diabetes Mellitus in an Urban Population in Semarang, Indonesia, Socio Medical Conditions of Early Onset Diabetes as Observed in a Diabetes Clinic in Tokyo. P. 45-50, p. 62-68. Dalam S., Baba Y., Goto I., Fukui, Diabetes Mellitus in Asia. Excerpta Medica. Amsterdam.

2. David E. Schteingart. 1995. Metabolisme Glukosa dan Diabetes Mellitus dalam Patofisiologi. EGC, Hal. 1118-1119.

3. Daniel W. Foster. 2000. Diabetes Mellitus dalam Harrison Ilmu-ilmu Penyakit Dalam. Volume 5, EGC. Hal. 2212.

4. Greenspen F.S. and Baxter, J.D. 1994. Basic and Clinical Endocrinology. 4th ed. Connection: a Lange Medical Book. P 575-625.

5. Hollwich F. 1993. Ophtalmology. Edisi 2. Binarupa Aksara. Jakarta. Hal. 233.

6. Kingham J.D. 1982. Diabetic Retinopathy: Recognition and Management dalam Management of Diabetes Mellitus. PSG Inc. London. P 209-244.

7. Michaelson I.C. 1980. Textbook of the Fundus of the Eye. Churchil Livingstone. New York. P 244-283.

8. Prof. dr. Sidarta Ilyas. Penuntun Ilmu Penyakit Mata. FKUI. 1998.

9. Vaughan D. and Ashbury T. 1995. Retinal Vascular Disease dalam General Ophtalmology. 24 ed. A Lange Medical Book. New York, p 199-203.

Ablasio Retina


II.1. Anatomi dan Fisiologi Retina
Retina merupakan membran yang tipis, halus dan tidak berwarna, tembus pandang, yang terlihat merah pada fundus adalah warna dari koroid. Retina ini terdiri dari bermacam-macam jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat Mueler, membrana limitans interna dan eksterna, sel-sel glia. (1)
Membrana limitans interna letaknya berdekatan dengan membrana hyaloidea dari badan kaca. Pada kehidupan embrio dari optik vesicle terbentuk optic cup, dimana lapisan luar membentuk lapisan epitel pigmen dan lapisan dalam membentuk lapisan retina lainnya. Bila terjadi robekan di retina, maka cairan badan kaca akan melalui robekan ini, masuk ke dalam celah potensial dan melepaskan lapisan batang dan kerucut dari lapisan epitel pigmen, maka terjadilah ablasi retina. (1)

Retina terbagi atas 3 lapis utama yang membuat sinap saraf sretina, yaitu sel kerucut dan batang, sel bipolar, dan sel ganglion.
Terdapat 10 lapisan yang dapat dibedakan secara histologik, yaitu dari luar ke dalam :
1. lapis pigmen epitel yang merupakan bagian koroid
2. lapis sel kerucut dan batang yang merupakan sel fotosensitif
3. membran limitan luar
4. lapis nukleus luar merupakan nukleus sel kerucut dan batang
5. lapis pleksiform luar, persatuan akson dan dendrit
6. lapis nukleus dalam merupakan susunan nukleus luar bipolar
7. lapis pleksiform dalam, persatuan dendrit dan akson
8. lapis sel ganglion
9. lapis serat saraf, yang meneruskan dan menjadi saraf optik
10. membran limitan interna yang berbatasan dengan badan kaca. (5)

Pada orang tua dan pada penderita miopia tinggi, diora serta sering didapatkan degenerasi kistoid, yang bisa pecah dapat menimbulkan ablasi retina. Epitel pigmen dari retina kemudian meneruskan diri menjadi epitel pigmen yang menutupi badan siliar dan iris. Dimana aksis mata memotong retina, terletal di makula lutea. Besarnya makula lutea 1-2 mm. Daerah ini daya penglihatannya paling tajam, terutama di fovea sentralis.

Struktur Makula lutea :
1. Tidak ada serat saraf.
2. Sel-sel ganglion sangat banyak di pinggir-pinggir, tetapi di makula sendiri tidak ada.
3. Lebih banyak kerucut daripada batang dan telah dimodifikasi menjadi tipis-tipis. Di fovea sentralis hanya terdapat kerucut. (1)

Pada bagian posterior retina tidak terdiri dari 10 lapisan. Hal ini untuk memudahkan sinar dari luar mencapai sel kerucut dan batang. Bagian ini disebut makula lutera yang pada pemeriksaan funduskopi koroid terlihat lebih jelas karena tipis adanya refleks fovea karena sinar dipantulkan kembali. Fovea sentral merupakan bagian retina yang sangat sensitif dan yang akan menghasilkan ketajaman penglihatan maksimal atau 6/6. Jika terjadi kerusakan pada fovea sentral ini, maka ketajaman penglihatan sangat menurun karena pasien akan melihat dengan bagian perifer makula lutera. (5)

II.2. Definisi dan Patogenesis Ablasi Retina
Menurut Ilyas ablasi retina merupakan kelainan retina dimana lapisan keerucut dan batang retina terpisah dari sel epitel pigmen retina. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epital, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis (2).
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koloid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina yang mendapat makannya dari pembuluh darah koloid yang jika berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap (2).
II.3. Klasifikasi
Menurut Ghozi dikenal 3 bentuk ablasi retina berdasarkan kejadiannya : (3)
a. Ablasi retina regmatogenosa (oleh karena robekan)
b. Ablasi retina eksudatif (penimbunan cairan)
c. Ablasi retina traksi (tarikan)

a. Ablasi retina regmatogenosa
Ablasi retina regmatogenosa terjadi akibat atau didahului adanya robekan pada retina sehingga akan mempermudah masuknya cairan yang berasal dari badan kaca ke dalam celah potensial antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca air (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapisan epitel pigmen koroid. (2)

b. Ablasi retina eksudatif
Ablasi retina eksudatif, ablasi yang terjadi akibat penimbunan cairan subretina. Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah retina dan koroid (ekstravasasi) seperti pada penyakit koroid. Kelainan ini dapat terjadi pada skeleritis, koroiditis, tumor retobulbar radang uvea, idiopati, toksemia gravidarum. Cairan dibawah retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala permukaan retina yang terangkat akn terlihat licin. (6)
Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang tau hilang.

c. Ablasi retina traksi
Ablasi retina traksi (tarikan) terjadi karena lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan perut dari badan kaca sehingga lapisan batag dan kerucut terlepas tanpa robekan. Hal ini mengakibatkan penglihatan menurun tanpa rasa sakit. (7)
Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan Diabetes Melitus proliferatif, trauma dan pendarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi. Pengobatan ablasi akibat tarikan di dalam badan kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan perut/ fibrosis di dalam badan kaca dengan tindakan yang disebut sebagai vitrektomi. (2)
Sedangkan menurut penyebabnya maka ablasi retina diklasifikasikan sebagai berikut: (1)
A. Ablasi primer
B. Ablasi sekunder

A. Ablasi primer
Mata sebelumnya tidak sakit pada suatu waktu timbul ablasi retina.
1. Umur tua
Proses sklerosis, menyebabkan retina menjadi degeneratif, menimbulkan robekan dan ablasi retina pada orang tua dan miopia tinggi, di ora serata sering menimbulkan degenerasi kistoid yang mudah pecah, yang juga dapat menimbulkan ablasi retina. (1)
2. Miopia tinggi
Miopia tinggi disertai degenerasi retina, menimbulkan robekan dan menyebabkan ablasi retina. (1)
3. Trauma
Ablasi terjadi pada mata yang mempunyai faktor predisposisi untuk terjadi ablasi retina. Trauma hanya merupakan faktor pencetus untuk terjadinya ablasi retina pada mata yang berbakat. Mata yang berbakat untuk terjadinya ablasi retina adalah matadengan miopia tinggi, pasca retinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer, 50 % ablasi yang timbul pada afakia terjadi pada tahun pertama. (7)


B. Ablasi Sekunder
Disebabkan penyakit lain :
1. Tumor koroid atau retina yang tumbuh ke depan, menyebabkan lepasnya retina dari lapisan epitel pigmen, kemudian disusul dengan timbulnya eksudasi oleh karena rangsangan, cairan ini mengumpul di dalam celah potensial, menyebabkan ablasi retina misalnya pada retinablastoma.
2. Transudat, pada hipertensi, retinopati nefritika, coat’s disease.
3. Eksudat, pada koroiditis.
4. Oleh karena retraksi dari jaringan organisasi pada retinitis proliferas akibat perdarahan di badan kaca atau peradangan dari uvea atau retina yang masuk ke dalam badan kaca, trauma perforata, dapat menimbulkan robekan dan disusul dengan ablasi retina. Disini menutup robekan tidak ada gunanya, oleh karena jaringan fibrotik itu akan menarik lagi dan menimbulkan robekan baru. (1)
Ablasi retina, biasanya dihubungkan dengan pemisahan retina yang terjadi karena adanya robekan pada retina. Robekan retina berbentuk ladam kuda sering terdapat di temporal atas. Cairan badan kaca masuk melalui robekan ini ke dalam celah potensial yang terletak dimulai dari temporal atas, lambat laun meluas kebawah oleh karena cairan selalu mencari tempat yang terendah, yang disebabkan oleh daya tarik bumi. Ablasi makin lama makin tinggi, karena cairan yang masuk makin lama makin banyak, juga makin luas dan retinanya menjadi berlipat-lipat untuk akhirnya seluruh retina terlepas, terkecuali pada ora serata dan papil saraf optik, ia masih melekat. Keadaan ini dinamakan ablasi total. (3)





II.4. Diagnosa ablasi retina
a. Pemeriksaan Subyektif
 Fotopsia
Keluhan paling awal dari ablasi retina adalah fotopsia yaitu sensasi melihat adanya kilatan-kilatan cahaya pada lapang pandangan. Fotopsia ini merupakan pertanda dini terjadinya sobekan pada retina, yang biasanya terletak dibagian perifer retina. Fotopsia ini akan lebih nyata bila mata digerakkan dan digoyangkan dengan kuat di tempat gelap. Sering ablasi retina ini dihubungkan dengan trauma. Biasanya pada tempat retina yang sobek ini akan masuk cairan intraokular kebelakang retina. Pasien dalam waktu yang singkat akan mengeluh penglihatannya menurun. Penurunan tajam penglihatan ini disebabkan makula letea terangkat atau lepas atau akibat media penglihatan menjadi keruh. Lapang pandangan akan terlihat seperti tabir.
 Karena caian ablasi bergerak mencari tempat yang rendah, maka penderita merasakan seolah-olah melihat suatutirai yang bergerak ke suatu arah.
 Bila terjadi di bagian temporal, dimana terletak makula lutea, maka virus sentral lenyap. Sedangkan bila terdapat di bagian nasal, visus sentral lebih lambat terganggu.
 Lambat laun tirai makin turun dan menutupi sama sekali matanya, karena terdapat ablasi retina total, sehingga persepsi cahaya menjadi nol.
Jarak waktu antara gejala awal hingga hilangnya penglihatan bervariasi dari waktu jam hingga bulan. Pada kasus afaksi akan lebih cepat. Trauma pada bola mata atau pembedahan intraikuler dapat mengakibatkan ablasi retina. Mungkin ablasi retina baru akan terjadi beberapa hari tetapi juga sampai beberapa tahun kemudian gangguan lapang pandang dapat berubah-ubah hingga ablasi hingga ablasi retina yang di atas akan mengakibatkan gangguan lapang pandang di bagian bawah, menjadi kurang terasa. Gangguan lapang pandangdi pinggir akan meluas sedikit demi sedikit kan mencapai makula dan penderita mendadak sadar bahwa penglihatannya menurun secara tajam. Jika ablasi berlanjut maka hilanglah penglihatannya. (3)
Peristiwa tersebut berlangsung tanpa keluhan rasa sakit. Hal ini karena retina tidak mempunyai serabut saraf rasa sakit sehingga penyakit-penyakit retina tidak menimbulkan nyeri. Disamping itu tidak menyebabkan mata merah. (7)

b. Pemeriksaan Obyektif
Pemeriksaan oftalmoskopik dimaksudkan untuk menilai keadaan media refraksi dan menentukan luas daerah ablasi. Juga untuk menentukan jenis ablasinya, apakah ablasi retina serosa atau ablasi retina akibat robekan (regmatogenus atau tarikan). Pada ablasi retina regmatogenus harus dicari robekan retina. Sebab ini sangat penting pada pengobatan penbedahannya.
Pada pemeriksaan funduskopi retina terlihat lebuh pucat akibat terangkatnya retina dengan pembuluh darah diatasnya berkelok-kelok sesuai dengan gelombang retina yang terangkat. Pada retina akan tampak robekan yang berwarna merah, reflek merah dari koroid (6).
Permukaan retina pada ablasi retina regmatogenus terlihat tidak licin, bergoyang pada saat bergerak. Mudah goyang ini karena kepekatan yang rendah dari cairan subretinanya. Pada ablasi regmatogenus cairan tetap di ruangan sub retina, walaupun elevasinya tinggi. Retina umumnya tampak melipat.
Pemeriksaan tekanan bola mata umumnya rendah dapat meninggi bila telah terjadi neovaskular glaukoma pada ablasi yang telah berlangsung lama, maka pada retina timbul gangguan metabolisme zat-zat toksis yang ditimbulkan, menyebabkan degenerasi dan antrofi dari retina. Karena batang dan kerucut mendapat makanan dari kapiler koroid, sehingga menjadi rusak sebab makanannya terputus. Biasanya retina menjadi lebih bening dan tampak garis demarkasi yang khas terbentuk karena kerusakan epitel pigmen yang membatasi retina yang ablasi dari yang normal. (4)
Munurut Waliban mata satunya juga harus diperiksa, karena sering ditemukan lubang retina atau perlekatan vitreoretina yang bisa menyebabkan terjadinya robekan.
Predisposisi untuk terjadinya ablasi retina adalah mata yang berbakat terjadi ablasi retina yaitu mata dengan :
1. Miopia tinggi
2. Pasca retinitis
3. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer.

II.5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipertimbangkan adalah: (4)
1. Retinoskisis
2. Ablasi koroid
3. Melanoma koroid yang ganas
Retinoskisis adalah kelainan retina dengan gambaran terjadi pemisahan lapisan-lapisan retina. Bila pada ablasi retina pemisahan terjadi antara epitel pigmen retina dengan lapisan sensori retina, maka retinoskisis pemisahan lapisan retina dapat terjadi di lapisan sensori mana saja, misalnya di lapisan pleksiform luar atau dalam lapisan syaraf optik. Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan permukaan dinding dalam retina yang berbentuk kubah tidak berubah pada saat bola mata bergerak dan juga tidak ada perubahan bentuk serta lokasi karena gaya gravitasi karena dinding dalam amat tipis dan transparan, maka pembuluh darah yang terdapat padanya akan membentuk bayangan/proyeksi dari EPR, sehingga mengurangi kebeningannya (tidak transparan). Akibat proyeksi pembuluh darah di lapisan tidak kelihatan dan posisi serta bentuknya sangat dipengaruhi oleh gravitasi.
Koroid yang mengalami ablasi tidak dibatasi oleh ora serata, tetapi meluasnya ablasi koroid tersebut terhambat di tempat masuknya pembuluh darah vorteks ke dalam sklera. Epitel pigmen masih tetap terlihat, tetapi struktur koroid tidak tampak.
Pada melanoma koroid ganas, dengan perubahan posisi penderita, cairan subretina akan bergerak. Tumor ini posisinya tidak dipengaruhi baik oleh ora serata maupun oleh pembuluh-pembuluh darah vorteks. (4)
II.6. Terapi
 Pada ablasi regmatogenosa diperlukan pembedahan, karena jarang sekali terjadi pertautan kembali secara spontan.
 Tindakan pertama adalah pembedahan, karena daerah retina dan dibuat peta rinciannya yang memuat lubang-lubang retina dan daerah-daerah tarikan vitreoretina.
 Melekatkan kembali bagian retina yang lepas yaitu dengan :
- Diatermi (koagulasi)
Diaterna yaitu energi listrik berfrekuensi tinggi yang dialirkan pada sklera berubah menjadi energi panas, sehingga dapat mengkoagulasi koroid dan retina. (4)
Hal ini dapat dilaksanakan dengan atau tanpa mengeluarkan cairan subretina. Pengeluaran dilaksanakan di luar daerah reseksi dan terutama di daerah di mana ablasi paling tinggi.
- Implantasi silikon di daerah sobekan retina. Implantasi di letakan di dalam kantong sklera yang sudah direseksi, yang akan mendekatkan sklera dengan retina dan mengakibatkan pengikatan yang terlokalisir.
- Menempatkan sabuk (band) pada implantasi untuk menahan implan dan cairan subretina agar tidak mengalir ke belakang.
 Pada ablasi retina eksudatif akan sembuh bila eksudasi berhenti dan terjadi resorbsi. Pembedahan tidak menolong.
 Pengobatan ablasi retina tarikan di dalam badan kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis di dalam badan kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis di dalam badan kaca dengan tindakan vitrektomi.

II.7. Prognosis
1. Baik sekali, bila pertama kali operasi berhasil 50-60 %
2. Bila operasi pertama tak berhasil, diulangi lagi dua kali, prognosis 15 %
3. Operasi yang berulang kali atau ablasi yang lama, prognosis buruk sekali
4. Pada miopia tinggi, karena ada proses degenerasi retina, prognosis buruk.
Menurut Waliban prognosis retina traumatik adalah buruk yang disebabkan oleh cedera makula, robekan retina yang luas, dan pembentukan membran fibroseluler intravitreal yang terjadi pada cedera tembus. Membran intravitreal seperti ini memiliki gaya kontraktil yang cukup kuat untuk terjadinya ablasi retina. Tindakan yang efektif adalah vitrektomi, tetapi penentuan waktunya masih kontroversial. Endotalmis adalah indikasi untuk vitrektomi dini. Pada kasus-kasus yang tidak mengalami infeksi, penundaan pembedahan sampai 10-14 hari bisa mengurangi risiko perdarahan intra bedah, dan memungkinkan terjadinya ablasi badan kaca posterior, yang secara teknis memudahkan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijana, N, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Perpustakaan Nasional, Jakarta.

2. Ilyas, S, 1997, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

3. Ghozi, M, 1997, Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

4. Vaughan, D dan Asbury, T, 1990, General Ophtalmology, Widya Medika, Jakarta.

5. Ilyas, S, 1998, Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

6. Glasspool, M. G, 1990, Atlas Berwarna Ophtalmology, Widya Medika, Jakarta.

7. Radjamin, R. K, dkk, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Airlangga University Press, Surabaya.

Konjungtivitis Vernalis



A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Konjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi konjuntiva fornicis yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kornea.

Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian :
1. Konjungtiva palpebra
2. Konjungtiva forniks
3. Konjungtiva bulbi

Yang ada di palpebra disebut konjuntiva palpebra, di fornix disebut konjuntiva fornicis dan yang di bola mata disebut konjuntiva bulbi. Di sudut nasal, di canthus internus ada lipatan disebut plica semilunaris. Juga disitu menuju benjolan menyerupai epidermoid yang disebut caruncula.2
Histologis lapisan konjuntiva adalah epitel konjuntiva terdiri atas epitel superficial mengandung sel goblet yang memproduksi mucin. Epitel basal, di dekat limbus dan epitel ini mengandung pigmen. Dibawah epitel terdapat stroma konjuntiva yang terdiri atas lapisan adenoid yang mengandung jaringan limfoid dan lapisan fibrosa yang mengandung jaringan ikat. Yang padat adalah tarsus dan ditempat lain jaringan longgar.2

Kelenjar yang ada di konjuntiva terdiri kelenjar Krause (ditepi atas tarsus) yang menyerupai kelenjar air mata. Pembuluh darah yang ada di konjuntiva adalah a.siliaris anterior dan a. palpebralis. Konjuntiva mengandung sangat banyak pembuluh limfe. Inervasi syaraf di palpebra oleh percabangan n. oftalmikus cabang N.V. 2

Konjuntiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di fornix atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan pada bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi kelopak. Air mata yang mengalir ke bawah menuju fornix dan mengalir ke tepi nasal menuju punctum lakrimalis. Dengan demikian konjuntiva dan kornea selalu basah.2,3
Kedudukan konjuntiva mempunyai resiko mudah terkena mikroorganisme atau benda lain. Air mata akan melarutkan materi infektius atau mendorong debu keluar. Alat pertahanan ini menyebabkan peradangan menjadi self-limited disease. Selain air mata, alat pertahanan berupa elemen limfoid, mekanisme eksfoliasi epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal ini dapat dilihat pada kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang dapat tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata.

Arteri- arteri konjungtiva berasal dari a.ciliaris anterior dan a. palpebralis yang keduanya beranastomosis. Yang berasal dari a. ciliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m. rectus menembus sclera dekat limbus untuk mencapai bagian dalam mata dan cabang- cabang yang mengelilingi kornea.3

Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan pertama n. trigeminus yang berakhir sebagai ujung- ujung yang lepas terutama di bagian palpebra.3

B. KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva. Peradangan konjuntiva selain memberi keluhan yang khas pada anamnesis seperti gatal, pedih, seperti ada pasir, seperti klilipen, rasa panas juga memberi gejala yang khas di konjuntiva, ada tahi lalat. Jika meluas ke kornea timbul silau dan ada air mata nrocos (epifora). Gejala objektif paling ringan adalah hiperemi dan berair sampai berat dengan pembengkakan bahkan nekrosis. Bangunan yang sering tampak khas lainnya adalah folikel, flikten dan sebagainya.2,3


Gejala objektif dari konjuntivitis adalah:2
a. hiperemi;
Merupakan gejala yang paling umum pada konjuntivitis. Terjadi karena pelebaran pembuluh darah sebagai akibat adanya peradangan. Hiperemi mengakibatkan adanya kemerahan pada konjuntiva. Makin kuat peradangan itu makin terlihat merah konjuntiva.

b. Epifora atau mata berair, nrocos.
Biasa terjadi pada mata yang terkena benda asing dan meradang. Adanya hiperemi yang berat, terjadi transudasi pembuluh darah dan menambah cairan air mata tersebut. eksudat adalah produksi dari peradangan konjuntiva.

c. Peradangan
pada infeksi lebih banyak eksudat ketimbang peradangan alergi. Jenis eksudat akan berbeda pada infeksi dengan Neisseria Gonokokken , eksudat akan berupa nanah. Sedang infeksi koken lain akan memberi getah radang mukus.

d. Kemosis
Sembab pada konjuntiva bulbi yang meradang. Biasanya menunjukkan adanya peradangan yang berat, baik di dalam maupun diluar.

e. Follikel,
Merupakan bangunan khas sebagai benjolan kecil pada konjuntiva palpebra atau fornicis. Terdapat pada semua infeksi virus, klamidian, alergi dan konjuntivitis akibat obat-obatan, berwarna pucat atau abu-abu.

f. Granula
Merupakan bentuk ukuran besar dari follikel, terutama folikel trakoma.

g. Flikten
Bangunan khas berbentuk benjolan seperti gunung. Dilereng terlihat hiperemi dipuncak menguning pucat. Ini merupakan manifestasi alergi bakteri.

h. Membran dan pseudomembran,
Merupakan hasil proses koagulasi protein di permukaan konjuntiva. Pada pseudomembran koagulum hanya menempel di permukaan, sedang sekret membran koagulumnya menembus keseluruh tebal epitel.Pengelupasan membran akan menimbulkan perdarahan hebat, sedang pada pseudomembran tidak menimbulkan perdarahan
Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dapat diklasifikasikan menjadi :4
1. Bakterial:
- Konjungtivitis Blenore
- Konjungtivitis Gonorre
- Konjungtivitis Difteri
- Konjungtivitis Folikuler
- Konjungtivitis kataral
- Blefarokonjungtivitis
2. Viral :
- Keratokonjungtivitis epidemika
- Demam Faringokonjungtivitis
- Keratokonjungtivitis New castle
- Konjungtivitis Hemoragik akut
3. Jamur
4. Alergi :
- Konjungtivitis vernal
- Konjungtivitis flikten

C. KONJUNGTIVITIS VERNALIS
1.Definisi
Merupakan suatu peradangan konjungtiva kronik, rekuren bilateral, atopi, yang mengandung secret mucous sebagai akibat reaksi hipersensitivitas tipe I. Penyakit ini juga dikenal sebagai “catarrh musim semi”.1,2,3,4,5,6

2.Klasifikasi
Ada dua tipe konjugtivitis vernalis :3,6
- Bentuk Palpebra
Pada tipe palpebral ini terutama mengenai konjungtiva tarsal superior, terdapat pertumbuhan papil yang besar atau cobble stone yang diliputi secret yang mukoid. Konjungtiva bawah hiperemi dan edema dengan kelainan kornea lebih berat disbanding bentuk limbal. Secara klinik, papil besar ini tampak sebagai tonjolan bersegi banyak dengan permukaan uang rata dan dengan kapiler di tengahnya.

- Bentuk Limbal
Hipertrofi pada limbus superior yang dapat membentuk jaringan hiperplastik gelatine. Dengan trantas dot yang merupakan degenerasi epitel kornea atau eosinofil di bagian epitel limbus kornea, terbentuknya panus dengan sedikit eosinofil

3.Patofisiologi1
Perubahan struktur konjungtiva erat kaitannya dengan timbulnya radang interstitial yang banyak didominasi oleh reaksi hipersensitivitas tipe I. Pada konjungtiva akan dijumpai hiperemi dan vasodilatasi difus, yang dengan cepat akan diikuti dengan hiperplasi akibat proliferasi jaringan yang menghasilkan pembentukan jaringan ikat yang tidak terkendali. Kondisi ini akan diikuti oleh hyalinisasi dan menimbulkan deposit pada konjungtiva sehingga terbentuklah gambaran cobblestone.

Jaringan ikat yang berlebihan ini akan memberikan warna putih susu kebiruan sehingga konjungtiva tampak buram dan tidak berkilau. Proliferasi yang spesifik pada konjungtiva tarsal, oleh von Graefe disebut pavement like granulations. Hipertrofi papil pada konjungtiva tarsal tidak jarang mengakibatkan ptosis mekanik

Limbus konjungtiva juga memperlihatkan perubahan akibat vasodilatasi dan hipertofi yang menghasilkan lesi fokal. Pada tingkat yang berat, kekeruhan pada limbus sering menimbulkan gambaran distrofi dan menimbulkan gangguan dalam kualitas maupun kuantitas stem cells.

Tahap awall konjungtivitis vernalis ini ditandai oleh fase prehipertrofi. Dalam kaitan ini, akan tampak pembentukan neovaskularisasi dan pembentukan papil yang ditutup oleh satu lapis sel epitel dengan degenerasi mukoid dalam kripta di antara papil serta pseudomembran milky white. Pembentukan papil ini berhubungan dengan infiltrasi stroma oleh sel- sel PMN, eosinofil, basofil dan sel mast.
Tahap berikutnya akan dijumpai sel- sel mononuclear lerta limfosit makrofag. Sel mast dan eosinofil yang dijumpai dalam jumlah besar dan terletak superficial. Dalam hal ini hampir 80% sel mast dalam kondisi terdegranulasi. Temuan ini sangat bermakna dalam membuktikan peran sentral sel mast terhadap konjungtivitis vernalis. Keberadaan eosinofil dan basofil, khususnya dalam konjungtiva sudah cukup menandai adanya abnormalitas jaringan.

Fase vascular dan selular dini akan segera diikuti dengan deposisi kolagen, hialuronidase, peningkatan vaskularisasi yang lebih mencolok, serta reduksi sel radang secara keseluruhan. Deposisi kolagen dan substansi dasar maupun seluler mengakibatkan terbentuknya deposit stone yang terlihat secara nyata pada pemeriksaan klinis. Hiperplasi jaringan ikat meluas ke atas membentuk giant papil bertangkai dengan dasar perlekatan yang luas. Horner- Trantas dot’s yang terdapat di daerah ini sebagian besar terdiri dari eosinofil, debris selular yang terdeskuamasi, namun masih ada sel PMN dan limfosit.

4.Diagnosis
Diagnosis konjungtivitis vernalis ditegakan berdasarkan :
- Gejala klinis1,2,4,6
Keluhan utama adalah gatal yang menetap, disertai oleh gejala fotofobia, berair dan rasa mengganjal pada kedua mata. Adanya gambaran spesifik pada konjungivitis ini disebabkan oleh hiperplasi jaringan konjungtiva di daerah tarsal, daerah limbus atau keduanya. Selanjutnya gambaran yang tampak akan sesuai dengan perkembangan penyakit yang memiliki bentuk yaitu palpebral ataupun bentuk limbal.
Bentuk palpebral hamper terbatas pada konjungtiva tarsalis superior dan terdapat cobble stone. Ini banyak terjadi pada anak yang lebih besar. Cobble stone ini dapat demikian berat sehingga timbul pseudoptosis.

Bentuk limbal disertai hipertrofi limbus yang dapat disertai bintik- bintik yang sedikit menonjol keputihan dikenal sebagai Horner- Trantas dot’s. Ini banyak terjadi pada anak- anak yang lebih kecil. Penebalan konjungtiva palpebra superior akan menghasilkan pseudomembran yang pekat dan lengket, yang mungkin bias dilepaskan tanpa timbul perdarahan.

Eksudat konjungtiva sangat spesifik, berwarna putih susu kental, lengket, elastic dan fibrinous. Peningkatan sekresi mucus yang kental dan adanya peningkatan jumlah asam hyaluronat, mengakibatkan eksudat menjadi lengket. Hal ini memberikan keluhan adanya sensasi seperti ada tali atau cacing pada matanya.
- Pemeriksaan Laboratorium1
Pemeriksaan laboratorium yang dilakukan berupa kerokan konjungtiva untk mempelajari gambaran sitologi. Hasil pemeriksaan menunjukkan banyak eosinofil dan granula- granula bebas eosinofilik. Di samping itu, terdapat basofil dan granula basofilik bebas.

5.Diagnosis Banding1
Diagnosis banding pada umumnya tidak sulit, kecuali yang dihadapi penderita dewasa muda, karena mungkin suatu konjungtivitis atopik. Kelainan mata pada konjungtivitis atopik berupa kelopak mata yang tebal, likenisasi, konjungtiva hiperemi dan kemosis disertai papil- papil di konjungtiva tarsalis inferior. Kadang- kadang papil ini bias besar mirip cobble stone dan dapat dijumpai pada konjungtiva tarsalis superior. Trantas dot’s juga bias dijumpai pada konjungtivitis atopik meskipun tidak sesering pada konjungtivitis vernalis.

Selain konjungtivitis atopik, perlu juga dipikirkan kemungkinan adanya Giant Papillary conjungtivitis pada pemakaian lensa kontak, baik yang hard maupun yang soft. Gejalanya mulai dengan gatal disertai banyak mucus serta timbulnya atau ditemukannya papil raksasa di knjungtiva tarsalis superior. Kelainan ini dapat timbul baik satu minggu sesudah pemakaian lensa kontak maupun setelah lama pemakaian. Pada kelainan ini tidak ada pengaruh musim. Pemeriksaan sitologi hanya menunjukkan sedikit eosinofil. Dengan dilepasnya kontak lens, gejala- gejalanya akan berkurang.
Konjungtivitis vernalis kadang- kadang perlu di diagnosis banding dengan trachoma stadium II yang disertai folikel- folikel yang besar mirip cobble stone.

6.Penatalaksanaan1,3,5,6
Seperti halnya semua penyakit alergi lainnya, terapi konjungtivitis vernalis bertujuan untuk mengidentifikasi allergen dan bahkan mungkin mengeliminasi atau menghindarinya. Untuk itu, anamnesis yang teliti baik pada pasien maupun orang tua akan dapat membantu menggambarkan aktivitas dan lingkungan mana yang harus dihindari. Dengan demikian, penatalaksanaan pada pasien ini akan terbagi dalam tiga bentuk yang saling menunjang untuk dapat memberikan hasil yang optimal. Ketiga bentuk pelaksanaan tersebut meliputi : (1) Tindakan umum; (2) Terapi medikasi; (3) Pembedahan.

1.Tindakan Umum
Dalam hal ini mencakup tindakan- tindakan konsultatif yang membantu mengurangi keluhan pasien berdasarkan informasi hasil anamnesis tersebut diatas. Beberapa tindakan tersebut antara lain :
- Pemakaian mesin pendingin ruangan berfilter
- Menghindari daerah berangin kencang yang biasanya juga membawa serbuksari
- Menggunakan kacamata berpenutup total untuk mengurangi kontak dengan allergen di udara terbuka. Pemakaian lensa kontak dihindari karena dapat membantu resistensi allergen.
- Kompres dingin di daerah mata
- Pengganti air mata (artificial). Selain bermanfaat untuk cuci mata juga berfungsi protektif karena membantu menghalau allergen.
- Memindahkan pasien ke daerah beriklim dingin yang sering juga disebut climato-therapy. Cara ini memang kurang praktis, mengingat tingginya biaya yang dibtuhkan. Namun, efektivitasnya yang cukup dramatis patut diperhitungkan sebagai alternative bila keadaan memungkinkan
- Menghindari tindakan menggosok- gosok mata dengan tangan atau jari tangan, karena telah terbukti dapat merangsang pembebasan mekanis dari mediator- mediator sel mast.

2.Terapi Medik
Dalam hal ini, terlebih dahulu perlu dijelaskan kepada pasien dan orang tua pasien tentang sifat kronis serta self limiting dari penyakit ini. Selain itu perlu juga dijelaskan mengenai keuntungan dan kemungkinan komplikasi yang dapat timbul dari pengobatan yang ada, terutama dalam pemakaian steroid. Salah satu factor pertimbangan yang penting dalam mengambil langkah untuk memberikan obat- obatan adalah eksudat yang kental dan lengket pada konjungtivitis vernalis ini, karena merupakan indicator yang sensitive dari aktivitas penyakit, yang pada gilirannya akan memainkan peran penting dalam timbulnya gejala.

Untuk menghilangkan sekresi mucus, dapat digunakan irigasi saline steril dan mukolitik seperti asetil sistein 10% - 20% tetes mata. Dosisnya tergantung pada kuantitas eksudat serta beratnya gejala. Dalam hal ini, larutan 10% lebih dapat ditoleransi daripada larutan 10%. Larutan alkaline seperti sodium karbonat monohidrat dapat membantu melarutkan atau mengencerkan musin, sekalipun tidak efektif sepenuhnya.

Satu- satunya terapi yang dipandang paling efektif untuk pengobatan konjungtivitis vernalis ini adalah kortikosteroid, baik topical maupun sistemik. Namun untuk pemakaian dalam dosis besar harus diperhitungkan kemungkinan timbulnya resiko yang tidak diharapkan.
Untuk Konjungtivitis vernal yang berat, bias diberikan steroid topical prednisolone fosfat 1%, 6- 8 kali sehari selama satu minggu. Kemudian dilanjutkan dengan reduksi dosis sampai dosis terendah yang dibutuhkan oleh pasien tersebut. Pada kasus yang lebih parah, bias juga digunakan steroid sistemik seperti prednisolon asetet, prednisolone fosfat atau deksametason fosfat 2- 3 tablet 4 kali sehari selama 1-2 minggu. Satu hal yang perlu diingat dalam kaitan dengan pemakaian preparat steroid adalah gnakan dosis serendah mungkin dan sesingkat mungkin.

Antihistamin, baik local maupun sistemik dapat dipertimbangkan sebagai plihan lain karena kemampuannya untuk mengurangi rasa gatal yang dialami pasien. Apabila dikombinasi dengan vasokonstriktor, dapat memberikan control yang memadai pada kasus yang ringan atau memungkinkan reduksi dosis. Bahkan menangguhkan pemberian kortikosteroid topical. Satu hal yang tidak disukai dari pemakaian antihistamin adalah efek samping yang menimbulkan kantuk. Pada anak- anak, hal ini dapat juga mengganggu aktivitas sehari- hari.

Emedastine adalah antihistamin paling poten yang tersedia di pasaran dengan kemampuan mencegah sekresi sitokin. Sementara olopatadine merupakan antihistamin yang berfungsi sebagai inhibitor degranulasi sel mast konjungtiva.
Sodium kromolin 4% terbukti bermanfaat karena kemampuannya sebaga pengganti steroid bila pasien sudah dapat dikontrol. Ini juga berarti dapat membantu mengurangi kebutuhan akan pemakaian steroid. Sodium kromolin berperan sebagai stabilisator sel masi, mencegah terlepasnya beberapa mediator yang dihasilkan pada reaksi alergi tipe I, namun tidak mampu menghambat pengikatan IgE terhadap sel maupun interaksi sel IgE dengan antigen spesifik. Titik tangkapnya, diduga sodium kromolin memblok kanal kalsium pada membrane sel serta menghambat pelepasan histamine dari sel mast dengan cara mengatur fosforilasi.

Lodoksamid 0,1% bermanfaat mengurangi infiltrate radang terutama eosinofil dalam konjungtiva. Levokabastin tetes mata merupakan suatu antihistamin yang spesifik terhadap konjungtivitis vernalis, dimana symptom konjungtivitis vernalis hilang dalam 14 hari.

3. Terapi pembedahan
Berbagai terapi pembedahan, krioterapi dan diatermi pada papil raksasa konjungtiva tarsal kini sudah ditinggalkan mengingat banyaknya efek samping dan terbukti tidak efektif, karena dalam waktu dekat akan tumbuh lagi. Apabila segala bentuk pengobatan telah dicoba dan tidak memuaskan, maka metode dengan tandur alih membrane mukosa pada kasus konjungtivitis vernalis tipe palpebra yang parah perlu dipertimbangkan. Akhirnya perlu dipetekankan bahwa konjungtivitis vernalis biasanya berlangsung selama 4- 6 tahun dan bisa sembuh sendiri apabila anak sudah dewasa.

DAFTAR PUSTAKA

1. Staff Ilmu Penyakit Mata FK UGM, Keratokonjungtivitis Vernalis dalam http://www.tempo.com.id/medika/042002.htm

2. Al-Ghozie, M., Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical Examination, FK UMY, Yogyakarta, 2002

3. Wijana, N., Konjungtiva dalam Ilmu Penyakit Mata, 1993, hal: 41-69

4. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah., Buku Pedoman Kesehatan Mata Telinga dan Jiwa, 2001

5. Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R., General Ophthalmology, Original English Language edition, EGC, 1995

6. Ilyas, S., Konjungtivitis Vernalis dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, Cetakan I, Fakultas Kedokteran UI, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2004

Konjungtivitis Flikten


A. ANATOMI DAN FISIOLOGI
Konjungtiva adalah selaput lendir atau disebut lapisan mukosa. Konjungtiva melapisi permukaan sebelah dalam kelopak mulai tepi kelopak (margo palpebralis), melekat pada sisi dalam tarsus, menuju ke pangkal kelopak menjadi konjuntiva forniks yang melekat pada jaringan longgar dan melipat balik melapisi bola mata hingga tepi kornea.4

Konjungtiva dibagi menjadi 3 bagian :
1. Konjungtiva palpebra
2. Konjungtiva forniks
3. Konjungtiva bulbi

Di sudut nasal, di canthus internus ada lipatan disebut plica semilunaris. Juga disitu menuju benjolan menyerupai epidermoid yang disebut caruncula.4

Histologis lapisan konjungtiva adalah epitel konjungtiva terdiri atas epitel superficial mengandung sel goblet yang memproduksi mucin. Epitel basal, di dekat limbus dan epitel ini mengandung pigmen. Dibawah epitel terdapat stroma konjungtiva yang terdiri atas lapisan adenoid yang mengandung jaringan limfoid dan lapisan fibrosa yang mengandung jaringan ikat. Yang padat adalah tarsus dan ditempat lain jaringan longgar. Kelenjar yang ada di konjungtiva terdiri kelenjar Krause (ditepi atas tarsus) yang menyerupai kelenjar air mata. Pembuluh darah yang ada di konjungtiva adalah a.siliaris anterior dan a. palpebralis. Konjungtiva mengandung banyak pembuluh limfe. Inervasi syaraf di palpebra oleh percabangan n. oftalmikus cabang N.V.

Konjungtiva dibasahi oleh air mata yang saluran sekresinya bermuara di forniks atas. Air mata mengalir dipermukaan belakang kelopak mata dan tertahan pada bangunan lekukan di belakang kelopak mata tertahan di belakang tepi kelopak. Air mata yang mengalir ke bawah menuju forniks dan mengalir ke tepi nasal menuju punctum lakrimalis.4
Kedudukan konjungtiva mempunyai resiko mudah terkena mikroorganisme atau benda lain. Air mata akan melarutkan materi infektius atau mendorong debu keluar. Alat pertahanan ini menyebabkan peradangan menjadi self-limited disease. Selain air mata, alat pertahanan berupa elemen limfoid, mekanisme eksfoliasi epitel dan gerakan memompa kantong air mata. Hal ini dapat dilihat pada kehidupan mikroorganisme patogen untuk saluran genitourinaria yang dapat tumbuh di daerah hidung tetapi tidak berkembang di daerah mata.

Arteri- arteri konjungtiva berasal dari a.ciliaris anterior dan a. palpebralis yang keduanya beranastomosis. Yang berasal dari a. ciliaris anterior berjalan ke depan mengikuti m. rectus menembus sclera dekat limbus untuk mencapai bagian dalam mata dan cabang- cabang yang mengelilingi kornea.2
Konjungtiva menerima persyarafan dari percabangan pertama n. trigeminus yang berakhir sebagai ujung- ujung yang lepas terutama di bagian palpebra.2

B. KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis merupakan peradangan pada konjungtiva. Peradangan konjungtiva selain memberi keluhan yang khas pada anamnesis seperti gatal, pedih, seperti ada pasir, rasa panas juga memberi gejala yang khas di konjuntiva, ada secret mata. Jika meluas ke kornea timbul silau dan ada air mata nrocos (epifora). Gejala objektif paling ringan adalah hiperemi dan berair jika berat dengan pembengkakan bahkan nekrosis. Bangunan yang sering tampak khas lainnya adalah folikel, flikten dan sebagainya.
Gejala objektif dari konjungtivitis adalah:4

a. Hiperemi
Merupakan gejala yang paling umum pada konjungtivitis. Terjadi karena pelebaran pembuluh darah sebagai akibat adanya peradangan. Hiperemi mengakibatkan adanya kemerahan pada konjungtiva. Makin kuat peradangan itu makin terlihat merah konjungtiva.

b. Epifora atau mata berair
Biasa terjadi pada mata yang terkena benda asing dan meradang. Adanya hiperemi yang berat, terjadi transudasi pembuluh darah dan menambah cairan air mata tersebut. eksudat adalah produksi dari peradangan konjungtiva.

c. Peradangan
Pada infeksi lebih banyak eksudat ketimbang peradangan alergi. Jenis eksudat akan berbeda pada infeksi dengan Neisseria Gonokokken , eksudat akan berupa nanah. Sedang infeksi koken lain akan memberi getah radang mukus.

d. Kemosis
Sembab pada konjungtiva bulbi yang meradang. Biasanya menunjukkan adanya peradangan yang berat, baik di dalam maupun diluar.

e. Follikel,
Merupakan bangunan khas sebagai benjolan kecil pada konjuntiva palpebra atau forniks. Terdapat pada semua infeksi virus, klamidian, alergi dan konjungtivitis akibat obat-obatan, berwarna pucat atau abu-abu.

f. Granula
Merupakan bentuk ukuran besar dari follikel, terutama folikel trakoma.

g. Flikten
Bangunan khas berbentuk benjolan seperti gunung. Dilereng terlihat hiperemi dipuncak menguning pucat. Ini merupakan manifestasi alergi bakteri.

h. Membran dan pseudomembran,
Merupakan hasil proses koagulasi protein di permukaan konjungtiva. Pada pseudomembran koagulum hanya menempel di permukaan, sedang sekret membran koagulumnya menembus keseluruh tebal epitel. Pengelupasan membran akan menimbulkan perdarahan hebat, sedang pada pseudomembran tidak menimbulkan perdarahan

Berdasarkan penyebabnya, konjungtivitis dapat diklasifikasikan menjadi :1,4
1. Bakterial:
- Konjungtivitis Blenore
- Konjungtivitis Gonorre
- Konjungtivitis Difteri
- Konjungtivitis Folikuler
- Konjungtivitis kataral
- Blefarokonjungtivitis
2. Viral :
- Keratokonjungtivitis epidemika
- Demam Faringokonjungtivitis
- Keratokonjungtivitis New castle
- Konjungtivitis Hemoragik akut
3. Jamur
4. Alergi :
- Konjungtivitis vernal
- Konjungtivitis flikten

C. KONJUNGTIVITIS FLIKTENULARIS
1. Definisi
Konjungtivitis fliktenularis merupakan radang pada konjungtiva dengan pembentukan satu atau lebih tonjolan kecil (flikten) yang diakibatkan oleh reaksi alergi (hipersensitivitas tipe IV). Tonjolan sebesar jarum pentul yang terutama terletak di daerah limbus, berwarna kemerah-merahan disebut flikten. Flikten konjungtiva mulai berupa lesi kecil, umumnya diameter 1-3 mm, keras, merah, menonjol dan dikelilingi zona hyperemia. Di limbus sering berbentuk segitiga dengan apeks mengarah ke kornea. Disini terbentuk pusat putih kelabu yang segera menjadi ulkus dan mereda dalam 10-12 hari. Flikten umumnya terjadi di limbus namun ada juga yang terjadi di kornea, bulbus dan tarsus. Secara histologis, flikten adalah kumpulan sel leukosit neutrofil dikelilingi sel limfosit, makrofag dan kadang-kadang sel datia berinti banyak.5

2. Etiologi
Kelainan ini merupakan manifestasi alergik (hipersensitivitas tipe IV) endogen tuberculosis, stafilokokus, coccidioidomycosis, candida, helmintes, virus herpes simpleks, toksin dari moluscum contagiosum yang terdapat pada margo palpebra dan infeksi fokal pada gigi, hidung, telinga, tenggorokan, dan traktus urogenital. Penyakit ini terutama mengenai anak-anak berumur 4-14 tahun dengan malnutrition dan TBC.2,4,5

3. Klasifikasi
Secara klinis dibedakan menjadi 2, yaitu:2
a. Konjungtivitis flikten : tanda radang tidak jelas, hanya terbatas pada tempat flikten, secret hamper tidak ada.
b. Konjungtivitis kum flikten : tanda radang jelas, secret mucous, mukopurulen, biasanya timbul karena infeksi sekunder pada konjungtivitis flikten.

4. Diagnosis
Diagnosis konjungtivitis fliktenularis ditegakkan dengan ditemukan gejala klinis pada pasien. Penyakit ini biasanya unilateral tapi kadang-kadang mengenai kedua mata. Gejala-gejalanya biasanya ringan berupa mata berair (lakrimasi), mata merah setempat, perih, iritasi dengan rasa sakit, fotofobi, silau bila kornea terkena. Bila infeksi bakteri sekunder terjadi, akan terdapat nanah mukopurulen dengan kelopak mata yang saling melekat (blefarospasme). Konjungtivitis fliktenularis biasanya tidak meninggalkan parut.4,5

5. Diagnosis Banding
Konjungtivitis fliktenularis harus dibedakan dengan kondisi serupa yang superficial seperti pinguecula inflamasi, ulkus marginal dan kunjungtivitis vernalis.5

6. Penatalaksanaan
Usahakan untuk mencari penyebab primernya dan apabila diketahui maka penyebab ini diobati dulu, misalnya pencarian infeksi fokal di telinga, hidung, tenggorokan atau gigi. Pemeriksaan penunjang berupa pemeriksaan darah, urin, feses maupun foto thorax juga diperlukan.2,5
Karena dasar dari timbulnya konjungtivitis fliktenularis adalah hipersensitivitas lambat, maka pada mata diberikan obat tetes mata atau salep mata kortikosteroid lokal misalnya dexametason, prednisolon. Kombinasi kortikosteroid dengan antibiotik, misalnya kloramfenikol lebih dianjurkan mengingat banyak kemungkinan terdapat infeksi bakteri sekunder. Dapat juga diberikan roboransia yang mengandung vitamin A, B kompleks, dan vitamin C untuk memperbaiki keadaan umum.3,4
Bila dengan salep atau tetes mata tidak membaik, maka harus diberikan kortikosteroid injeksi (kortison asetat 0,5%) yang disuntikkan subkonjungtiva di forniks superior pada jam 12. Suntikan diberikan 0,3-0,5 cc setiap kali sebanyak 2 kali seminggu.2
Pada pemberian kortikosteroid lokal dalam jangka waktu lama perlu diwaspadai kontraindikasi dan adanya penyulit-penyulit, antara lain superinfeksi jamur atau virus, munculnya glaucoma maupun katarak.2
Dengan pengobatan yang baik umumnya konjungtivitis fliktenularis akan sembuh spontan dalam 1-2 minggu dan tidak meninggalkan bekas kecuali flikten pada limbus dan kornea atau terjadi infeksi sekunder sehingga timbul abses.2,5


DAFTAR PUSTAKA

1. Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Tengah., Buku Pedoman Kesehatan Mata Telinga dan Jiwa, 2001

2. Wijana, N., Konjungtiva, dalam Ilmu Penyakit Mata, 1993, hal: 41-69


3. Vaughan, D.G, Asbury, T., Eva, P.R., General Ophthalmology, Original English Language edition, EGC, 1995

4. Al-Ghozie, M., Handbook of Ophthalmology : A Guide to Medical Examination, FK UMY, Yogyakarta, 2002

5. Ilyas, S., Konjungtivitis Flikten dalam Ilmu Penyakit Mata, Edisi III, Cetakan I, Fakultas Kedokteran UI, Balai Penerbit FK UI, Jakarta, 2004

Konjungtivitis Trakomatousa


II.1 DEFINISI
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.1,3

II.2 EPIDEMIOLOGI
Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung dengan sekret penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Masa inkubasi rata 7 hari (berkisar 5-14 hari).1,3

II.3 ETIOLOGI
Penyebabnya adalah virus dari golongan P.L.T (psitacosis lymphogranuloma trachoma) yang disebut klamidozoa trakoma (chlamis = mantel, zoa = binatang).2

II.4 PATOFISIOLOGI
Jika terjadi invasi kuman, bakteri ataupun virus, maka akan terjadi beberapa reaksi di dalam jaringan tersebut diantaranya infiltrasi, eksudasi, nekrose, pembentukan jaringan parut. Reaksi ini didapat juga di konjungtiva dan kornea, jika virus trakoma memasuki jaringan ini.2

II.5 HISTOPATOLOGIS
Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtivitis dengan pewarnaan Giemsa terutama terlihat reaksi sel-sel polimorfonuklear, tetapi sel plasma, sel Leber, dan sel folikel (limfoblas) dapat juga ditemukan. Sel Leber menyokong suatu diagnosis trakoma tetapi sel limfoblas adalah tanda diagnostik yang penting bagi trakoma. Terdapat badan inklusi Halber Statter-Prowazeck yang letaknya intraseluler tapi ekstranuklear di dalam sel epitel konjungtiva yang bersifat basofil berupa granula, biasanya berbentuk cungkup (mantel) seakan-akan menggenggam nukleus. Kadang-kadang ditemukan lebih dari satu badan inklusi dalam satu sel.1,2,3

II.6 KLASIFIKASI
Menurut klasifikasi Mac Callan, penyakit ini berjalan melalui empat stadium :2
1. Stadium I = stadium insipien
- eksudat hanya sedikit
- pada konjungtiva tarsalis superior didapatkan prefolikel ++/+++
- di limbus kornea 1/3 bagian atas didapatkan panus yang terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi yang belum nyata
2. Stadium II = stadium established = stadium nyata, terdiri dari :
A. Stadium IIA = stadium hipertrofi folikuler
- eksudat banyak, bila terjadi infeksi sekunder
- di konjungtiva tarsalis superior prefolikel sedikit
- di konjungtiva forniks superior folikel +++, dapat berwarna abu-abu bila telah matur
- mungkin sedikit papil
- di limbus kornea 1/3 bagian atas panus lebih jelas
B. Stadium IIB = stadium hipertrofi papiler
- oleh karena infeksi sekunder, mungkin saja terdapat sekret yang banyak dan sekretnya mukopurulen
- dengan adanya hipertrofi papiler, permukaan konjungtiva menjadi berlipat-lipat, tidak licin, seperti beludru. Folikel kalaupun ada, tidak dapat terlihat karena tertutup lipatan papil
- panus aktif nyata
3. Stadium III = stadium sikatrik (stadium cicatrical)
- hipertrofi folikuler masih tampak, juga papil
- sikatrik berupa line of Artl, atau bintang di konjungtiva palpebra atau konjungtiva forniks superior
- Herbert’s peripheral pits di limbus kornea 1/3 bagian atas, bekas folikel
- panus aktif di bagian atas kornea
4. Stadium IV = stadium sembuh (stadium healed)
- infiltrat, folikel, papil hilang. Neovaskularisasi di kornea (+) = panus inaktif konjungtiva hein
- sikatrik berupa garis bintang. Herbert’s peripheral pits jelas
- “Post trachomatous deposit”, yang merupakan tumpukan sisa metabolisme di dalam celah-celah antara papil, tampak sebagai bintik-bintik putih seperti pasir laut, yang disebut juga litiasis atau kalsium oksalat, meskipun salah, karena tidak mengandung kalsium oksalat sama sekali

Gambar 1. Trakoma dengan inflamasi folikuler, ditunjukkan dengan 5 atau
lebih folikel (diameter 0,5 mm) pada bgian tengah konjungtiva tarsus atas.4


Gambar 2. Trakoma dengan inflamasi.4


Gambar 3. Trakoma dengan parut konjungtiva ditunjukkan
dengan parut pada konjungtiva tarsus.4


II.7 DIAGNOSIS
Yang penting untuk mendirikan diagnosis trakoma adalah pemeriksaan :2
1. konjungtiva palpebra superior, dimana terlihat prefolikel, sikatrik.
2. konjungtiva forniks superior, dimana dapat terlihat folikel, sikatrik.
3. kornea 1/3 bagian atas, dimana dapat terlihat infiltrat, neovaskularisasi, folikel, Herbert’s peripheral pits.
Diagnosis trakoma ditegakkan berdasarkan :2
1. Gejala klinik
Bila terdapat 2 dari 4 gejala yang khas, sebagai berikut :
- adanya prfolikel di konjungtiva tarsalis superior
- folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3 bagian atas
- panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
- sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva palpebra/forniks superior, Herbert’s peripheral pits di limbus kornea 1/3 bagian atas
2. Kerokan konjungtiva, yang dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan badan inklusi Halber Statter-Prowazeck.
Diagnosis trakoma juga dapat ditegakkan bila terdapat 1 gejala klinis yang khas ditambah dengan kerokan konjungtiva yang menghasilkan badan inklusi.
3. Biakan kerokan konjungtiva di dalam kantung telur, menghasilkan badan inklusi dan badan elimenter dengan pewarnaan Giemsa.
4. Tes serologi dengan :
a. Tes fiksasi komplemen
Untuk menunjukkan adanya antibodi terhadap trakoma, dengan menggunakan antigen yang murni. Melakukannya mudah, tidak memerlukan peralatan canggih, cukup mempergunakan antigen yang stabil, mudah didapat di pasaran, mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.
b. Tes mikro-imunofluoresen
Menentukan antibodi antiklamidial yang spesifik, beserta sifat-sifatnya (IgM, IgA, IgG). Lebih sukar dan memerlukan peralatan yang lebih canggih
II.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding adalah konjungtivitis inklusi, konjungtivitis folikuler, konjungtivitis vernalis.1,3

II.9 KOMPLIKASI DAN SEKUELE
Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma dan dapat merusak duktuli kelenjar lakrimal tambahan dan menutupi muara kelenjar lakrimal. Hal ini secara drastis mengurangi komponen air dalam film air mata prekornea, dan komponen mukus film mungkin berkurang karena hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra superior dengan membalik bulu mata ke dalam (trikiasis) atau seluruh tepian palpebra (entropion), sehingga bulu mata terus menerus menggesek kornea. Ini berakibat ulserasi pada kornea, infeksi bakterial kornea, dan parut pada kornea. Ptosis, obstruksi duktus nasolakrimalis, dan dakriosistitis adalah komplikasi umum lainnya pada trakoma.5

II.10TERAPI
Pada pengobatan trakoma, dibedakan :2
A. Pengobatan perorangan
Yang dianjurkan WHO, 1952 berupa pemberian kombinasi :
- pemakaian antibiotika tetrasiklin, aureomycin, acrhromycin (akhir-akhir ini ditambah dengan rifampisin, meclocyclin) berupa salep mata dengan konsentrasi 1% dipakai 3-4 kali sehari, dioleskan pada konjungtiva forniks inferior, sedikitnya selama 2 bulan.
- sulfonamide, yang dapat diberikan lokal ataupun sistemik dengan dosis 40-50 mg per kgBB, yang diberikan selama seminggu, kemudian dihentikan seminggu sampai 2 bulan. Harus diusahakan pemberian sulfonamide yang tidak toksis. Pengelolaannya harus teliti terhadap efek samping yang kurang baik dan mungkin timbul selama pengobatan.
B. Pengobatan massal
Prinsip dasar dalam pengobatan trakoma secara massal harus mencakup :
- pencarian kasus dan mengobatinya
- pendidikan kesehatan pada masyarakat
- merusak agen-agen vektor dan mengerjakan tindakan-tindakan sanitasi, sehingga lalat yang dapat menyebarluaskan penyakit dapat diberantas
Pada pengobatan massal tidak dipergunakan sulfa peroral, sebab selain mahal juga dapat menyebabkan keracunan (WHO, 1952).2
Cara pengobatan massal :2
1. Cara pengobatan yang terus-menerus :
Salep antibiotika 1% atau sulfa diberikan sedikitnya 2 kali sehari sampai sembuh, umumnya 2 bulan. Makin dini pengobatan dilakukan, hasilnya makin baik.
2. Cara pengobatan yang terhenti-henti (intermittent) :
Salep antibiotika 1% dipakai 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hal yang sama diulangi setiap bulan selama 6 bulan berturut-turut. Pengobatan tidak diserahkan kepada penderita sendiri, tetapi dioleskan oleh yang petugas kesehatan, pada waktu datang berobat. Menurut Maxwell Lyons (1958), hasilnya sama dengan pemakaian yang terus-menerus.
3. Cara pengobatan yang menyeluruh (the blanket treatment method) :
Pada cara pengobatan ini, semua anggota keluarga dari anak yang menderita trakoma, mendapat pengobatan dengan salep mata antibiotika atau sulfonamide. Cara ini terutama dipakai untuk daerah dengan insiden trakoma yang tinggi dan tingkat ekonomi yang rendah. Menurut Maxwell Lyons (1958), memberikan hasil yang baik dimana jumlah trakoma aktif menurun.
Bila cara pengobatan dengan antibiotika atau sulfa tidak dapat dikerjakan, ada cara lain dengan menggunakan repository drugs, yaitu obat-obatan yang lambat diabsorpsi atau dihilangkan, seperti benzathine pennicilin dan sulphamethoxy-pyridazine (Bietti, 1959).2
Cara pemakaiannya :2
- benzathine pennicilin disuntikkan intramuskular setiap 7, 14, sampai 20 hari selama 3 bulan dengan dosis 2500 unit per kgBB
- sulphamethoxy-pyridazine dengan dosis 8-10 cg per kgBB diberikan setiap 7-10 hari selama 3 bulan
Di daerah-daerah dimana terdapat konjungtivitis akut akibat kuman seperti Koch Weeks, secara musiman, “The Expert Committee on Trachoma” menganjurkan vaksinasi terhadap infeksi ini, sehingga penyebaran dan penularan dari trakoma dapat ditekan.2
Adanya vaksin yang dapat memberi perlindungan selama tahun-tahun pertama kehidupan, dimana trakoma paling banyak berjangkit, akan memberikan pengawasan yang lebih baik, seperti yang telah tercapai dengan penyakit cacar, sampar dan sebagainya. Karenanya penelitian terhadap vaksin trakoma beserta kegunaannya dalam mencegah penyakit ini sangat diperlukan, yang baru dikerjakan di luar negeri (Afrika Barat, Gambia, Ethiopia) dengan hasil yang baik sebagai perlindungan.2
Tindakan operatif, diperlukan untuk mengatasi gejala sisa seperti trikiasis, entropion, dan jaringan parut di kornea. Entropion dan trikiasis harus ditangani segera, karena dapat menimbulkan kerusakan pada kornea. Trikiasis yang ringan diatasi dengan koagulasi dari folikel bulu mata. Pada trikiasis yang disertai dengan entropion, dilakukan tarsotomi, yang harus memperbaiki kedudukan bulu mata yang salah, posisi bulu mata yang salah jangan sampai kambuh lagi dan tidak menimbulkan deformitas yang banyak pada bulu mata. Di Indonesia banyak dipakai tarsotomi dari Wheeler yang dimodifikasi oleh Sie Boen Lian. Jaringan parut di kornea, yang menimbulkan gangguan visus bahkan hampir buta, ditanggulangi dengan keratoplasti, dimana kornea donor yang telah meninggal, dapat menggantikan kornea penderita yang sudah rusak.2

II.11 PROGNOSIS
Khas, trakoma adalah penyakit menahun yang berlangsung lama. Dengan kondisi higiene yang baik (khususnya mencuci muka pada anak-anak), penyakit ini sembuh atau bertambah ringan sehingga sekuele berat terhindarkan. Sekitar 6-9 juta orang di dunia telah kehilangan penglihatannya karena trakoma.5

DAFTAR PUSTAKA

1. Ilyas, S. Mata Merah dengan Penglihatan Normal : Trakoma dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI, Edisi III, Cetakan pertama, Jakarta, hal 137-40, 2004.

2. Wijana, N. Konjungtiva : Konjungtivitis Folikularis Trakoma dalam Ilmu Penyakit Mata, Cetakan keenam, Jakarta, hal 59-69, 1993.


3. Ilyas, S., Tanzil, M., Salamun., Azhar, Z. Konjungtiva-Sklera : Trakoma (Kongtivitis Trakomatosa) dalam Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI, Cetakan ketiga, Jakarta, hal 39-40, 2003.

4. Solomon, A. Trachoma in http://www.emedicine.com/OPH/topic118.htm, March 17, 2005.


5. Schwab, I. R., Dawson, C. R. Konjungtiva : Konjungtivitis Klamidia, Trachoma dalam Oftalmologi Umum, Penerbit Widya Medika, Edisi 14, Cetakan pertama, Jakarta, hal 105-8, 2000.

Trauma Oculi

Trauma mata adalah rusaknya jaringan pada bola mata, kelopak mata, saraf mata dan atau rongga orbita karena adanya benda tajam atau tumpul yang mengenai mata dengan keras/cepat ataupun lambat.

Trauma mata dapat dibagi maenjadi:
I. Trauma Mekanik:
1. Trauma tumpul (contusio oculi)
2. Trauma tajam (perforasi trauma)

II. Trauma Fisika
1. Trauma radiasi sinar inframerah
2. Trauma radiasi sinar ultraviolet
3. Trauma radiasi sinar X dan sinart terionisasi

III. Trauma Kimia
1. Trauma asam
2. Trauma basa

Trauma pada mata dapat mengenai jaringan seperti kelopak mata, konjungtiva, kornea, uvea, lensa, retina, papil saraf optik dan orbita secara terpisah atau menjadi gabungan trauma jaringan mata.

I. Trauma Mekanik
1. Trauma tumpul
Trauma pada mata yang diakibatkan benda yang keras atau benda tidak keras dengan ujung tumpul, dimana benda tersebut dapat mengenai mata dengan kencang atau lambat sehingga terjadi kerusakn pada jaringan bola mata atau daerah sekitarnya.
Trauma tumpul biasanya terjadi karena aktivitas sehari-hari ataupun karena olah raga. Biasanya benda-benda yang sering menyebabkan trauma tumpul berupa bola tenis, bola sepak, bola tenis meja, shuttlecock dan lain sebagianya. Trauma tumpul dapat bersifat Counter Coupe, yaitu terjadinya tekanan akibat trauma diteruskan pada arah horisontal di sisi yang bersebrangan sehingga jika tekanan benda mengenai bola mata akan diteruskan sampai dengan makula.

a. Hematoma Kelopak
Hematoma palpebra merupakan pembengkakan atau penibunan darah di bawah kulit kelopak akibat pecahnya pembuluh darah palpebra.
Gambaran klinis
Hematoma kelopak merupakan kelainan yang sering terlihat pada trauna tumpul kelopak. Bila perdarahan terletak lebih dalam dan mengenai kedua kelopak dan berbentuk seperti kacamata hitam yang sedang dipakai, maka keadaan ini disebut hematoma kacamata. Henatoma kacamata terjadi akibat pecahnya arteri oftalmika yang merupakan tanda fraktur basis kranii. Pada pecahnya arteri oftalmika maka darah masuk kedalam kedua rongga orbita melalui fisura orbita.
Penatalaksanaan
Penanganan pertama dapat diberikan kompres dingin untuk menghentikan perdarahan. Selanjutnya untuk memudahkan absorpsidarah dapat dilakukan kompres hangat pada kelopak.

b. Edema konjungtiva
Jaringan konjungtiva yang bersifal lendir dapat menjadi kemotik pada setiap kelainan termasuk akibat trauma tumpul.
Gambaran klinis
Edema konjungtiva yang berat dapat mengakibatkan palpebra tidak menutup sehingga bertambah rangsangan terhadap konjungtivanya.
Penatalaksanaan
Pada edem konjung tiva dapat diberikan dekongestan untuk mencegah pembendungan cairan di dalam selapt lendir konjungtiva. Pada edem konjungtiva yang berat dapat dilakukan disisi sehingga cairan konjungtiva kemotik keluar melalui insisi tersebut.

c. Hematoma subkonjungtiva
Hematoma subkonjungtiva terjadi akibat pecahnya pembuluh darah yang terdapat dibawah konjungtiva, seperti arteri konjungtiva dan arteri episklera. Pecahnya pembuluh darah ini bisa akibat dari batu rejan, trauma tumpul atau pada keadaan pembuluh darah yang mudah pecah.
Gambaran klinis
Bila perdarahan ini terjadi akibat trauma tumpul maka perlu dipastikan tidak terdapat robekan di bawah jaringan konjungtiva atau sklera. Pemeriksaan funduskopi perlu dilakukan pada setiap penderita dengan perdarahan subkonjungtiva akibat trauma tumpul.
Penatalaksanaan
Pengobatan pertama pada hematoma subkonjungtiva adalh dengan kompres hangat. Perdarahan subkonjungtiva akan hilang atau diabsorbsi dengan sendirinya dalam 1 – 2 minggu tanpa diobati.

d. Edema kornea
Gambaran klinis
Edema kornea dapat meberikan keluhan berupa penglihatan kabur dan terlihatnya pelangi sekitar bola lampu atau sumber cahaya yang dilihat. Kornea akan terlihat keruh dengan uji plasedo yang positif.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah larutan hiertonik seperti NaCL 5% atau larutan garam hipertonik 2 – 8%, glukosa 40% dan larutan albumin. Bila terjadi peninggian tekanan bola mata maka dapat diberikan asetozolamida. Dapat diberikan lensa kontak lembek untuk menghilangkan rasa sakit dan memperbaiki tajam penglihatan.

e. Erosi kornea
Erosi kornea merupakan keadaan terkelupasnya epitel kornea yang dapat mengakibatkan oleh gesekan keras pada epitel kornea.
Gambaran klinis
Pada erosi pasien akan merasa sakit sekali akibat erosi merusak kornea yang mempunyai serat sensibel yang banyak, mata berair, fotofobia dan penglihatan akan terganggu oleh media yang keruh.
Pada korne akan terlihat adanya defek efitel kornea yang bila diberi fuorosein akan berwarna hijau.
Penatalaksanaan
Anestesi topikal dapat diberikan untuk memeriksa tajam penglihatan dan menghilangkan rasa sakit yang sangat. Anestesi topikal diberikan dengan hati-hati karena dapat menambah kerusakan epitel.
Epitel yan terkelupas atau terlipat sebaiknya dilepas atau dikupas. Untuk mencegah terjadinya infeksi dapat diberikan antibiotika spektrum luas seperti neosporin, kloramfenikol dan sufasetamid tetes.
Akibat rangsangan yang mengakibatkan spasme siliar maka dapat diberikan sikloplegik aksi-pendek seperti tropikamida.
Untuk mengurangi rangsangan cahaya dan membuat rasa nyaman pada pasien, maka bisa diberikan bebat tekan pada pasien minimal 24 jam.

f. Erosi kornea rekuren
Erosi rekuren biasanya terjadi akibat cedera yang merusak membran basal atau tukak metaherpetik. Epitel akan sukar menutup dikarenakan terjadinya pelepasan membran basal epitel kornea sebagai sebagai tempat duduknya sel basal epitel kornea.
Penatalaksanaan
Pengobatan terutama bertujuan melumas permukaan kornea sehingga regenerasi epitel tidak cepat terlepas untuk membentuk membran basal kornea.
Pemberian siklopegik bertujuan untuk mengurangi rasa sakit ataupun untuk mengurangi gejala radang uvea yang mungkn timbul.
Antibiotik dapat diberikan dalam bentuk tetes dan mata ditutup untuk mempercepat pertumbuhan epitel baru dan mencegah infeksi skunder.
Dapat digunakan lensa kontak lembek pada pasien dengan erosi rekuren pada kornea dengan maksud untuk mempertahankan epitel berada ditempatnya.

g. Iridoplegia
Kelumpuhan otot sfingter pupil yang isa diakibatkan karena trauma tumpul pada uvea sehingga menyebabkan pupi menjadi lebar atau midriasis.
Gambaran klinis
Pasien akan sukar melihat dekat karena gangguan akomodasi dan merasakan silau karena gangguan pengaturan masuknya cahaya ke pupil. Pupil terlihat tidak sama besar atau anisokoria dan bentuk pupil dapat menjadi ireguler. Pupil biasanya tidak bereaksi terhadap sinar.
Penatalaksanaan
Penanganan pada pasien dengan iridoplegia post trauma sebaiknya diberikan istirahat untuk mencegah terjadinnya kelelahan sfingter dan pemberian roboransia.
h. Hifema
Hifema adalah darah di dalam bilik mata depan yang dapat terjadi akibat trauma tumpul sehingga merobek pembuluh darah iris atau badan siliar.
Gambaran klinis
Pasien akan mengeluh sakit disertai dengan epifora dan blefarospasme. Penglihatan pasien akan sangat menurun dan bila pasien duduk hifema akan terlihat terkumpul dibagian bawah bilik mata depan dan dapat memenuhi seluruh ruang bilik mata depan. Zat besi di dalam bola ata dapat menimbulkan siderosis bulbi yang bila didiamkan ftisis bulbi dan kebutaan.

Penatalaksanaan
Penanganan awal pada pasien hifema yaiu dengan merawat pasien dengan tidur di tempat tidur yang ditinggikan 30 derajat pada kepala, diberi koagulansia dan mata ditutup. Pada pasien yang gelisah dapat diberikan obat penenang. Bila terjadi glaukoma dapat diberikan Asetazolamida.
Parasentesis atau pengeluaran darah dari bilik mata depan dilakukan pada pasien dengan hifema bila terlihat tanda-tanda imbibisi kornea, glaukoma skunder, hifema penuh dan berwarna hitam atau setelah 5 hari tidak terliaht tanda-tanda hifema berkurang.

i. Iridosiklitis
Yaitu radang pada uvea anterior yang terjadi akibat reaksi jaringan uvea pada post trauma.
Gambaran klinis
Pada mata akan terlihat mata merah, akbat danya darah yang berada di dalam bilik mata depan maka akan terdapat suar dan pupil mata yang mengecil yang mengakibatkan visus menurun.
Sebaiknya pada mata diukur tekanan bola mata untuk persiapan memeriksa fundus dengan midriatika.
Penatalaksanaan
Pada uveitis anterior diberikan tetes midriatik dan steroid topikal, bila terlihat tanda radang berat maka dapat diberikan steroid sistemik.
Penanganan dengan cara bedah mata.

j. Subluksasi Lensa
Subluksasi Lensa adalah lensa yang berpindah tempat akibat putusnya sebagian zonula zinn ataupun dapat terjadi spontan karena trauma atau zonula zinn yang rapuh (sindrom Marphan).
Gambaran klinis
Pasien pasca trauma akan mengeluh penglihatan berkurang. Gambaran pada iris berupa iridodonesis. Akibat pegangan lensa pada zonula tidak ada, maka lensa akan menjadi cembung dan mata akan menjadi lebih miopi. Lensa yang cembung akan membuat iris terdorong ke depan sehingga bisa mengakibatkan terjadinya glaukoma sekunder.


Penatalaksanaan
Penanganan pada subluksasi lensa adalah dengan pembedahan. Bila tidak terjadi penyulit seperti glaukoma dan uveitis, maka dapat diberi kaca mata koreksi yang sesuai.

k. Luksasi Lensa Anterior
Yaitu bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa masuk ke dalam bilik mata depan.
Gambaran klinis
Pasien akan mengeluh penglihatan menurun mendadak. Muncul gejala-gejala glaukoma kongestif akut yang disebabkan karena lensa terletak di bilik mata depan yang mengakibatkan terjadinya gangguan pengaliran keluar cairan bilik mata. Terdapat injeksi siliar yang berat, edema kornea, lensa di dalam bilik mata depan. Iris terdorong ke belakang dengan pupil yang lebar.
Penatalaksanaan
Penanganan pada Luksasi lensa anterior sebaiknya pasien segera dilakukan pembedahan untuk mengambil lensa. Pemberian asetazolamida dapat dilakukan untuk menurunkan tekanan bola mata.

l. Luksasi Lensa Posterior
Yaitu bila seluruh zonula zinn di sekitar ekuator putus akibat trauma sehingga lensa jatuh ke dalam badan kaca dan tenggelam di dataran bawah fundus okuli.
Gambaran klinis
Pasien akan mengeluh adanya skotoma pada lapang pandangnya karena lensa mengganggu kampus. Mata menunjukan gejala afakia, bilik mata depan dalam dan iris tremulans.
Penatalaksanaan
Penanganan yaitu dengan melakukan ekstraksi lensa. Bila terjadi penyulit maka diatasi penyulitnya.

m. Edem Retina
Edem Retina adalah terjadinya sembab pada daerah retina yang bisa diakibatkan oleh trauma tumpul.
Gambaran klinis
Edema retina akan memberikan warna retina lebih abu-abu akibat sukarnya melihat jaringan koroid melalui retina yang sembab. Pada edema retina akibat trauma tumpul mengakibatkan edema makula sehingga tidak terdapat cherry red spot. Penglihatan pasien akan menurun.
Penatalaksanaan
Penanganan yaitu dengan menyuruh pasien istirahat. Penglihatan akan normal kembali setelah beberapa waktu, akan tetapi dapat juga penglihatan berkurang akibat tertimbunya daerah makula oleh sel pigmen epitel.

n. Ablasi Retina
Yaitu terlepasnya retina dari koroid yang bisa disebabkan karena trauma. Biasanya pasien telah mempunyai bakat untuk terjadinya ablasi retina. Seperti adanya retinitis sanata, miopia dan proses degenerasi retina lainnya.
Gambaran klinis
Pada pasien akan terdapat keluhan ketajaman penglihatan menurun, terlihat adanya selaput yang seperti tabir pada pandangannya. Pada pemeriksaan fundus kopi akan terlihat retina berwarna abu-abu dengan pembuluh darah yang terangkat dan berkelok-kelok.
Penatalaksanaan
Ablasi retina ditangani dengan melakukan pembedahan oleh dokter mata.

o. Ruptur Koroid
Ruptur biasanya terletak pada polus posterior bola mata dan melingkar konsentris di sekitar apil saraf optik, biasanya terjadi perdarahan subretina akibat dari ruptur koroid.
Bila ruptur koroid terletak atau mengenai daerah makula lutea maka akan terjadi penurunan ketajaman penglihatan

p. Avulasi saraf optik
Saraf optik terlepas dari pangkalnya di dalam bola mata yang bisa diakibatkan karena trauma tumpul.
Gambaran klinis
Penderita akan mengalami penurunan tajam penglihatan yang sangat drastis dan dapat terjadi kebutaan.
Penatalaksanaan
Penderita perlu dirujuk untuk menilai kelainan fungsi retina dan saraf optiknya.

2. Trauma Tembus
Trauma tembus pada mata dapat diakibatkan oleh benda tajam atau benda asing lainya yang mengakibatkan terjadinya robekan jaringan-jarinagan mata secara berurutan, misalnya mulai dari palpebra,kornea, uvea sampai mengenai lensa..
Gambaran klinis
Bila trauma yang disebabkan benda tajam atau benda asing lainya masuk kedalam bola mata maka akan mengakibatkan tanda-tanda bola mata tembus seperti :
- Tajam penglihatan yang menurun
- Tekanan bola mata yang rendah
- Bilik mata dangkal
- Bentuk dan letak pupil yang berubah
- Terlihat adanya ruptur pada kornea atau sklera
- Terdapat jaringan yang prolaps, seperti cairan mata, iris, lensa, badan kaca atau retina
- Konjungtivis kemotis

Penatalaksanaan
Bila terlihat salah satu atau beberapa tanda diatas maka dicurigai adanya trauma tembus bola mata maka secepatnya dilakukan pemberian antibiotika topikal dan mata ditutup tetapi jangan terlalu kencang dan segera dikirim ke dokter mata untuk dilakukan pembedahan dan penanganan lebih lanjut.
Pembuatan foto bisa dilakukan untuk melihat adanya benda asing dalam bola mata. Benda asing yang bersifat magnetik dapat dikeluarkan dengan magnet raksasa, dan benda asing yang tidak bersifat magnetik dapat dikeluarkan dengan vitrektomi.
Komplikasi
Adanya benda asing intraokuler dapat mengakibatkan endoftalmitis, panoftalmitis, ablasi retina, perdarahn intraokuler dan ptisis bulbi.

II. Trauma Fisika
1. Trauma Sinar Inframerah
Sinar inframerah dapat mengakibatkan kerusakan pada lensa, iris dan kapsul disekitar lensa. Hal ini terjadi karena sinar yang terkumpul dan ditanglap oleh mata selama satu menit tanpa henti akan menagkibatkan pupil melebar dan terjadi kenaikan suhu lensa sebanyak 9 derajat selsius, sehingga mengakibatkan katarak dan eksfoliasi pada kapsul lensa. Sinar inframerah yang sering didapatkan adalah dari sinar matahari dan dari tempat pekerjaan pemanggangan.
Gambaran klinis
Seseorang yang sering terpejan dengan sinar ini dapat terkena keratitis superfisial, katarak kortikal anterior posterior dan koagulasi pada koroid. Biasanya terjadi penurunan tajam penglihatan, penglihatan kabur dan mata terasa panas.
Penatalaksanaan
Tidak ada pengobatan terhadap akibat buruk yang telah terjadi, kecuali mencegah sering terpapar oleh sinar infra merah ini. Pemberian steroid sistemik dimaksudkan untuk mencegah terbentuknya jaringn parut pada makula dan untuk mengurangi gejala radang yang timbul.

2. Trauma Sinar Ultra Violet
Sinar ultra violet merupakan sinar gelombang pendek yang tidak terlihat, mempunyai panjang gelombang antara 350 – 295 nM. Sinar ultra violet banyak dipakai pada saat bekerja las dan menatap sinar matahari.
Sinar ultra violet akan segera merusak sel epitel kornea, kerusakan iniakan segera baik kembali setelah beberapa waktu dan tidak memberikan gangguan tajam penglihatan yang menetap.
Gambaran klinis
Biasanya pasien akan memberikan keluhan 4 – 6 jam post trauma, pasien akan merasakn mata sangat sakit, terasa seperti ada pasir, fotofobia, blefarospasme dan konjungtiva kemotik. Korne akan menunjukan adanya infiltrat pada permukaanyayang kadang-kadang disetai dengan kornea yang keruh. Pupil akan terlihat miosis.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah sikloplegia, antibiotika lokal, analgetika dan mata ditutup selama 2 – 3 hari. Biasanya sembuh setelah 48 jam.

3. Trauma Sinar Ionisasi dan Sinar X
Sinar Ionisasi dibedakan dalam bentuk:
- Sinar alfa yang dapat diabaikan
- Sinar beta yang dapat menembus 1 cm jaringan
- Sinar gamma
- Sinar X
Gambaran Klinis
Sinar ionisasi dan sinar X dapat mengakibatkan kerusakan pada kornea yang dapat bersifat permanen. Katarak akibat pemecahan sel epitel yang tidak normal dan rusaknya retina dengan gambarandilatasi kapiler, perdarahan, mikroaneuris mata dan eksudat. Atrofi sel goblet pada konjungtiva juga dapat terjadi dan mengganggu fungsi air mata.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang diberikan adalah antibiotika topikal, steroid sistemik dan sikloplegik.
Bila terjadi simblefaron pada konjungtiva dilakukan tindakan pembedahan.

III. Trauma Kimiawi
Trauma Kimia dapat terjadi pada kecelakaan yang terjadi di laboratorium, industri, pekerjaan yang memakai bahan kimia, pekerjaan pertanian dan peperangan yang memakai bahan kimia. Taruma kimia pada mata memerlukan tindakan segera, irigasi pada daerah mata yang terkena bahan kimia harus segera dilakukan untuk mencegah terjadinya penyulit yang berat.
Pembilasan dapat dilakukan dengan memakai garam fisiologik atau air bersih lainya selama 15 – 30 menit
1. Trauma Asam
Bila bahan asam mengenai mata maka akan segera terjadi pengendapan ataupun penggumpalan bahan protein permukaan. Biasanya akan terjadi kerusakan pada bagian superfisisal saja, tetapi bahan asam kuat dapat bereaksi yang mengakibatkan trauma menjadi lebih dalam.
Gambaran klinis
Pasien akan merasakan mata terasa pedih, seperti kering, seperti ada pasir dan ketajaman mata biasanya menurun.
Penatalaksanaan
Pengobatan dilakukan dengan irigasi jaringan yang terkena secara perlahan-lahan dan selama mungkin dengan air bersih atau garam fisiologik minimal selama 15 menit.
Antibiotika topikal untuk mencegah infeksi
Sikloplegik bila terjadi ulkus kornea atau kerusakan lebih dalam.
EDTA bisa diberikan satu minggu post trauma.
Prognosis
Baik bila konsentrasi asam tidak nterlalu tinggi dan hanya terjadi kerusakan superfisisal saja.

2. Trauma Basa
Trauma basa pada mata akan memberikan reaksi yang gawat pada mata. Alkali dengan mudah dan cepat dapat menembus jaringan kornea, bilik mata depan dan bagian retina. Hal ini terjadi akibat terjadinya penghancuran jaringan kolagen kornea. Bahan kimia basa bersifat koagulasi sel dan terjadi proses persabunan disertai dangan dehidrasi.
Menurut klasifikasi Thoft maka trauma basa dapat dibedakan menjadi :
Derajat 1: heperimi konjungtiva diikuti dengan keratitis pungtata.
Derajat 2: hiperemi konjungtiva dengan disertai hilangnya epitel kornea.
Derajat 3: hiperemi disertai dengan nekrosis konjungtiva dan lepasnya epitel kornea.
Derajat 4: Konjungtiva perilimal nekrosis sebanyak 50 %.

Menurut klasifikasi Hughes maka trauma mata diklasifikasikan menjadi:
a. Ringan
- Terdapat erosi epitel dan kekeruhan ringan kornea
- Tidak terdapat iskemi dan nekrosis kornea atau konjungtiva
- Prognosis baik
b. Sedang
- Terdapat kekeruhan kornea sehingga sukar melihat iris dan pupil secara detail
- Terdapat nekrosis dan iskemi ringan konjungtiva dan kornea
- Prognosis sedang
c. Berat
- terdapat kekeruhan kornea, sehingga pupil tidak dapat dilihat
- terdapat iskemia konjungtiva dan sklera, sehingga tampak pucat
- prognosis buruk

Gambaran klinis
Pasien akan merasakan mata terasa pedih, seperti kering, seperti ada pasir dan ketajaman mata biasanya menurun. Pengujian dengan kertas lakmus saat pertama kali datang adalah menunjukan suasana alkalis.

Penatalaksanaan
Tindakan yang dilakukan adalah dengan irigasi dengan garam fisiologik sekitar 60 menit segera setelah trauma.
Penderita diberikan sikloplegia, antibiotika, EDTA diberikan segera setelah trauma 1 tetes tiap 5 menit selama 2 jam dengan maksud untuk mengikat sisa basa dan untuk menetralisir kolagenase yang terbentuk pada hari ketujuh post trauma.
Diberikan antiiatik lokal untuk mencegah infeksi
Analgetik dan anestesik topikal dapat diberikan untuk mengurangi rasa nyeri.
Komplikasi
Penyulit yang dapat timbul adalah simblefaron, kekeruhan kornea, katarak disertai dengan terjadinya ftisis bola mata.

IV. Pencegahan
Trauma mata dapat dicegah dengan menghindarkan terjadinya trauma seperti:
- Diperlukan perlindungan pekerja untuk menghindarkan terjadnya trauma tajam akabiat alat pekerjaannya
- Setiap pekerja yang bekerja di tempat bahan kimia sebaiknya mengerti bahan kimai apa yang dipakainya, asam atau basa.
- Pada pekerja las sebaiknya melindungi matanya dari sinar dan percikan las.
- Awasi anak yang sedang bermain yang mungkin berbahaya untuk matanya.
- Pada olah ragawan seperti tinju ataupun bela diri lainya, harus melindungi bagian matanya dan daerah sekitarnya dengan alat pelindung.

DAFTAR PUSTAKA

• Ilyas, Sidarta. 2003. Ilmu Penyakit Mata, edisi 2. Balai penerbit FK UI; Jakarta
• Ilyas, Sidarta. 2001. Penuntun Ilmu Penyakit Mata, edisi 2. Balai Penerbit
FK UI ; Jakarta
• Mansyur, Arif dkk. 2001. Kapita Selekta Kedokteran, edisi 3. MediaAesculapius ;
Jakarta
• Jack, J. Clinical Oftalmlogi.third edition. CJW. Teks Book
• http.//www. NCBI, nlm. Nih. Gov/enter –
Contusio Bulbi.
• http.//www. BPK Jenabus.or.id/jelajah/ -
Dampak benturan Benda Keras pada Mata