II.1 DEFINISI
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.1,3
II.2 EPIDEMIOLOGI
Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung dengan sekret penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Masa inkubasi rata 7 hari (berkisar 5-14 hari).1,3
II.3 ETIOLOGI
Penyebabnya adalah virus dari golongan P.L.T (psitacosis lymphogranuloma trachoma) yang disebut klamidozoa trakoma (chlamis = mantel, zoa = binatang).2
II.4 PATOFISIOLOGI
Jika terjadi invasi kuman, bakteri ataupun virus, maka akan terjadi beberapa reaksi di dalam jaringan tersebut diantaranya infiltrasi, eksudasi, nekrose, pembentukan jaringan parut. Reaksi ini didapat juga di konjungtiva dan kornea, jika virus trakoma memasuki jaringan ini.2
II.5 HISTOPATOLOGIS
Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtivitis dengan pewarnaan Giemsa terutama terlihat reaksi sel-sel polimorfonuklear, tetapi sel plasma, sel Leber, dan sel folikel (limfoblas) dapat juga ditemukan. Sel Leber menyokong suatu diagnosis trakoma tetapi sel limfoblas adalah tanda diagnostik yang penting bagi trakoma. Terdapat badan inklusi Halber Statter-Prowazeck yang letaknya intraseluler tapi ekstranuklear di dalam sel epitel konjungtiva yang bersifat basofil berupa granula, biasanya berbentuk cungkup (mantel) seakan-akan menggenggam nukleus. Kadang-kadang ditemukan lebih dari satu badan inklusi dalam satu sel.1,2,3
II.6 KLASIFIKASI
Menurut klasifikasi Mac Callan, penyakit ini berjalan melalui empat stadium :2
1. Stadium I = stadium insipien
- eksudat hanya sedikit
- pada konjungtiva tarsalis superior didapatkan prefolikel ++/+++
- di limbus kornea 1/3 bagian atas didapatkan panus yang terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi yang belum nyata
2. Stadium II = stadium established = stadium nyata, terdiri dari :
A. Stadium IIA = stadium hipertrofi folikuler
- eksudat banyak, bila terjadi infeksi sekunder
- di konjungtiva tarsalis superior prefolikel sedikit
- di konjungtiva forniks superior folikel +++, dapat berwarna abu-abu bila telah matur
- mungkin sedikit papil
- di limbus kornea 1/3 bagian atas panus lebih jelas
B. Stadium IIB = stadium hipertrofi papiler
- oleh karena infeksi sekunder, mungkin saja terdapat sekret yang banyak dan sekretnya mukopurulen
- dengan adanya hipertrofi papiler, permukaan konjungtiva menjadi berlipat-lipat, tidak licin, seperti beludru. Folikel kalaupun ada, tidak dapat terlihat karena tertutup lipatan papil
- panus aktif nyata
3. Stadium III = stadium sikatrik (stadium cicatrical)
- hipertrofi folikuler masih tampak, juga papil
- sikatrik berupa line of Artl, atau bintang di konjungtiva palpebra atau konjungtiva forniks superior
- Herbert’s peripheral pits di limbus kornea 1/3 bagian atas, bekas folikel
- panus aktif di bagian atas kornea
4. Stadium IV = stadium sembuh (stadium healed)
- infiltrat, folikel, papil hilang. Neovaskularisasi di kornea (+) = panus inaktif konjungtiva hein
- sikatrik berupa garis bintang. Herbert’s peripheral pits jelas
- “Post trachomatous deposit”, yang merupakan tumpukan sisa metabolisme di dalam celah-celah antara papil, tampak sebagai bintik-bintik putih seperti pasir laut, yang disebut juga litiasis atau kalsium oksalat, meskipun salah, karena tidak mengandung kalsium oksalat sama sekali
Gambar 1. Trakoma dengan inflamasi folikuler, ditunjukkan dengan 5 atau
lebih folikel (diameter 0,5 mm) pada bgian tengah konjungtiva tarsus atas.4
Gambar 2. Trakoma dengan inflamasi.4
Gambar 3. Trakoma dengan parut konjungtiva ditunjukkan
dengan parut pada konjungtiva tarsus.4
II.7 DIAGNOSIS
Yang penting untuk mendirikan diagnosis trakoma adalah pemeriksaan :2
1. konjungtiva palpebra superior, dimana terlihat prefolikel, sikatrik.
2. konjungtiva forniks superior, dimana dapat terlihat folikel, sikatrik.
3. kornea 1/3 bagian atas, dimana dapat terlihat infiltrat, neovaskularisasi, folikel, Herbert’s peripheral pits.
Diagnosis trakoma ditegakkan berdasarkan :2
1. Gejala klinik
Bila terdapat 2 dari 4 gejala yang khas, sebagai berikut :
- adanya prfolikel di konjungtiva tarsalis superior
- folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3 bagian atas
- panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
- sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva palpebra/forniks superior, Herbert’s peripheral pits di limbus kornea 1/3 bagian atas
2. Kerokan konjungtiva, yang dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan badan inklusi Halber Statter-Prowazeck.
Diagnosis trakoma juga dapat ditegakkan bila terdapat 1 gejala klinis yang khas ditambah dengan kerokan konjungtiva yang menghasilkan badan inklusi.
3. Biakan kerokan konjungtiva di dalam kantung telur, menghasilkan badan inklusi dan badan elimenter dengan pewarnaan Giemsa.
4. Tes serologi dengan :
a. Tes fiksasi komplemen
Untuk menunjukkan adanya antibodi terhadap trakoma, dengan menggunakan antigen yang murni. Melakukannya mudah, tidak memerlukan peralatan canggih, cukup mempergunakan antigen yang stabil, mudah didapat di pasaran, mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.
b. Tes mikro-imunofluoresen
Menentukan antibodi antiklamidial yang spesifik, beserta sifat-sifatnya (IgM, IgA, IgG). Lebih sukar dan memerlukan peralatan yang lebih canggih
II.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding adalah konjungtivitis inklusi, konjungtivitis folikuler, konjungtivitis vernalis.1,3
II.9 KOMPLIKASI DAN SEKUELE
Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma dan dapat merusak duktuli kelenjar lakrimal tambahan dan menutupi muara kelenjar lakrimal. Hal ini secara drastis mengurangi komponen air dalam film air mata prekornea, dan komponen mukus film mungkin berkurang karena hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra superior dengan membalik bulu mata ke dalam (trikiasis) atau seluruh tepian palpebra (entropion), sehingga bulu mata terus menerus menggesek kornea. Ini berakibat ulserasi pada kornea, infeksi bakterial kornea, dan parut pada kornea. Ptosis, obstruksi duktus nasolakrimalis, dan dakriosistitis adalah komplikasi umum lainnya pada trakoma.5
II.10TERAPI
Pada pengobatan trakoma, dibedakan :2
A. Pengobatan perorangan
Yang dianjurkan WHO, 1952 berupa pemberian kombinasi :
- pemakaian antibiotika tetrasiklin, aureomycin, acrhromycin (akhir-akhir ini ditambah dengan rifampisin, meclocyclin) berupa salep mata dengan konsentrasi 1% dipakai 3-4 kali sehari, dioleskan pada konjungtiva forniks inferior, sedikitnya selama 2 bulan.
- sulfonamide, yang dapat diberikan lokal ataupun sistemik dengan dosis 40-50 mg per kgBB, yang diberikan selama seminggu, kemudian dihentikan seminggu sampai 2 bulan. Harus diusahakan pemberian sulfonamide yang tidak toksis. Pengelolaannya harus teliti terhadap efek samping yang kurang baik dan mungkin timbul selama pengobatan.
B. Pengobatan massal
Prinsip dasar dalam pengobatan trakoma secara massal harus mencakup :
- pencarian kasus dan mengobatinya
- pendidikan kesehatan pada masyarakat
- merusak agen-agen vektor dan mengerjakan tindakan-tindakan sanitasi, sehingga lalat yang dapat menyebarluaskan penyakit dapat diberantas
Pada pengobatan massal tidak dipergunakan sulfa peroral, sebab selain mahal juga dapat menyebabkan keracunan (WHO, 1952).2
Cara pengobatan massal :2
1. Cara pengobatan yang terus-menerus :
Salep antibiotika 1% atau sulfa diberikan sedikitnya 2 kali sehari sampai sembuh, umumnya 2 bulan. Makin dini pengobatan dilakukan, hasilnya makin baik.
2. Cara pengobatan yang terhenti-henti (intermittent) :
Salep antibiotika 1% dipakai 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hal yang sama diulangi setiap bulan selama 6 bulan berturut-turut. Pengobatan tidak diserahkan kepada penderita sendiri, tetapi dioleskan oleh yang petugas kesehatan, pada waktu datang berobat. Menurut Maxwell Lyons (1958), hasilnya sama dengan pemakaian yang terus-menerus.
3. Cara pengobatan yang menyeluruh (the blanket treatment method) :
Pada cara pengobatan ini, semua anggota keluarga dari anak yang menderita trakoma, mendapat pengobatan dengan salep mata antibiotika atau sulfonamide. Cara ini terutama dipakai untuk daerah dengan insiden trakoma yang tinggi dan tingkat ekonomi yang rendah. Menurut Maxwell Lyons (1958), memberikan hasil yang baik dimana jumlah trakoma aktif menurun.
Bila cara pengobatan dengan antibiotika atau sulfa tidak dapat dikerjakan, ada cara lain dengan menggunakan repository drugs, yaitu obat-obatan yang lambat diabsorpsi atau dihilangkan, seperti benzathine pennicilin dan sulphamethoxy-pyridazine (Bietti, 1959).2
Cara pemakaiannya :2
- benzathine pennicilin disuntikkan intramuskular setiap 7, 14, sampai 20 hari selama 3 bulan dengan dosis 2500 unit per kgBB
- sulphamethoxy-pyridazine dengan dosis 8-10 cg per kgBB diberikan setiap 7-10 hari selama 3 bulan
Di daerah-daerah dimana terdapat konjungtivitis akut akibat kuman seperti Koch Weeks, secara musiman, “The Expert Committee on Trachoma” menganjurkan vaksinasi terhadap infeksi ini, sehingga penyebaran dan penularan dari trakoma dapat ditekan.2
Adanya vaksin yang dapat memberi perlindungan selama tahun-tahun pertama kehidupan, dimana trakoma paling banyak berjangkit, akan memberikan pengawasan yang lebih baik, seperti yang telah tercapai dengan penyakit cacar, sampar dan sebagainya. Karenanya penelitian terhadap vaksin trakoma beserta kegunaannya dalam mencegah penyakit ini sangat diperlukan, yang baru dikerjakan di luar negeri (Afrika Barat, Gambia, Ethiopia) dengan hasil yang baik sebagai perlindungan.2
Tindakan operatif, diperlukan untuk mengatasi gejala sisa seperti trikiasis, entropion, dan jaringan parut di kornea. Entropion dan trikiasis harus ditangani segera, karena dapat menimbulkan kerusakan pada kornea. Trikiasis yang ringan diatasi dengan koagulasi dari folikel bulu mata. Pada trikiasis yang disertai dengan entropion, dilakukan tarsotomi, yang harus memperbaiki kedudukan bulu mata yang salah, posisi bulu mata yang salah jangan sampai kambuh lagi dan tidak menimbulkan deformitas yang banyak pada bulu mata. Di Indonesia banyak dipakai tarsotomi dari Wheeler yang dimodifikasi oleh Sie Boen Lian. Jaringan parut di kornea, yang menimbulkan gangguan visus bahkan hampir buta, ditanggulangi dengan keratoplasti, dimana kornea donor yang telah meninggal, dapat menggantikan kornea penderita yang sudah rusak.2
II.11 PROGNOSIS
Khas, trakoma adalah penyakit menahun yang berlangsung lama. Dengan kondisi higiene yang baik (khususnya mencuci muka pada anak-anak), penyakit ini sembuh atau bertambah ringan sehingga sekuele berat terhindarkan. Sekitar 6-9 juta orang di dunia telah kehilangan penglihatannya karena trakoma.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. Mata Merah dengan Penglihatan Normal : Trakoma dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI, Edisi III, Cetakan pertama, Jakarta, hal 137-40, 2004.
2. Wijana, N. Konjungtiva : Konjungtivitis Folikularis Trakoma dalam Ilmu Penyakit Mata, Cetakan keenam, Jakarta, hal 59-69, 1993.
3. Ilyas, S., Tanzil, M., Salamun., Azhar, Z. Konjungtiva-Sklera : Trakoma (Kongtivitis Trakomatosa) dalam Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI, Cetakan ketiga, Jakarta, hal 39-40, 2003.
4. Solomon, A. Trachoma in http://www.emedicine.com/OPH/topic118.htm, March 17, 2005.
5. Schwab, I. R., Dawson, C. R. Konjungtiva : Konjungtivitis Klamidia, Trachoma dalam Oftalmologi Umum, Penerbit Widya Medika, Edisi 14, Cetakan pertama, Jakarta, hal 105-8, 2000.
Trakoma adalah suatu bentuk konjungtivitis folikular kronik yang disebabkan oleh Chlamydia trachomatis.1,3
II.2 EPIDEMIOLOGI
Cara penularan penyakit ini adalah melalui kontak langsung dengan sekret penderita trakoma atau melalui alat-alat kebutuhan sehari-hari seperti handuk, alat-alat kecantikan, dan lain-lain. Masa inkubasi rata 7 hari (berkisar 5-14 hari).1,3
II.3 ETIOLOGI
Penyebabnya adalah virus dari golongan P.L.T (psitacosis lymphogranuloma trachoma) yang disebut klamidozoa trakoma (chlamis = mantel, zoa = binatang).2
II.4 PATOFISIOLOGI
Jika terjadi invasi kuman, bakteri ataupun virus, maka akan terjadi beberapa reaksi di dalam jaringan tersebut diantaranya infiltrasi, eksudasi, nekrose, pembentukan jaringan parut. Reaksi ini didapat juga di konjungtiva dan kornea, jika virus trakoma memasuki jaringan ini.2
II.5 HISTOPATOLOGIS
Secara histopatologik pada pemeriksaan kerokan konjungtivitis dengan pewarnaan Giemsa terutama terlihat reaksi sel-sel polimorfonuklear, tetapi sel plasma, sel Leber, dan sel folikel (limfoblas) dapat juga ditemukan. Sel Leber menyokong suatu diagnosis trakoma tetapi sel limfoblas adalah tanda diagnostik yang penting bagi trakoma. Terdapat badan inklusi Halber Statter-Prowazeck yang letaknya intraseluler tapi ekstranuklear di dalam sel epitel konjungtiva yang bersifat basofil berupa granula, biasanya berbentuk cungkup (mantel) seakan-akan menggenggam nukleus. Kadang-kadang ditemukan lebih dari satu badan inklusi dalam satu sel.1,2,3
II.6 KLASIFIKASI
Menurut klasifikasi Mac Callan, penyakit ini berjalan melalui empat stadium :2
1. Stadium I = stadium insipien
- eksudat hanya sedikit
- pada konjungtiva tarsalis superior didapatkan prefolikel ++/+++
- di limbus kornea 1/3 bagian atas didapatkan panus yang terdiri dari infiltrat dan neovaskularisasi yang belum nyata
2. Stadium II = stadium established = stadium nyata, terdiri dari :
A. Stadium IIA = stadium hipertrofi folikuler
- eksudat banyak, bila terjadi infeksi sekunder
- di konjungtiva tarsalis superior prefolikel sedikit
- di konjungtiva forniks superior folikel +++, dapat berwarna abu-abu bila telah matur
- mungkin sedikit papil
- di limbus kornea 1/3 bagian atas panus lebih jelas
B. Stadium IIB = stadium hipertrofi papiler
- oleh karena infeksi sekunder, mungkin saja terdapat sekret yang banyak dan sekretnya mukopurulen
- dengan adanya hipertrofi papiler, permukaan konjungtiva menjadi berlipat-lipat, tidak licin, seperti beludru. Folikel kalaupun ada, tidak dapat terlihat karena tertutup lipatan papil
- panus aktif nyata
3. Stadium III = stadium sikatrik (stadium cicatrical)
- hipertrofi folikuler masih tampak, juga papil
- sikatrik berupa line of Artl, atau bintang di konjungtiva palpebra atau konjungtiva forniks superior
- Herbert’s peripheral pits di limbus kornea 1/3 bagian atas, bekas folikel
- panus aktif di bagian atas kornea
4. Stadium IV = stadium sembuh (stadium healed)
- infiltrat, folikel, papil hilang. Neovaskularisasi di kornea (+) = panus inaktif konjungtiva hein
- sikatrik berupa garis bintang. Herbert’s peripheral pits jelas
- “Post trachomatous deposit”, yang merupakan tumpukan sisa metabolisme di dalam celah-celah antara papil, tampak sebagai bintik-bintik putih seperti pasir laut, yang disebut juga litiasis atau kalsium oksalat, meskipun salah, karena tidak mengandung kalsium oksalat sama sekali
Gambar 1. Trakoma dengan inflamasi folikuler, ditunjukkan dengan 5 atau
lebih folikel (diameter 0,5 mm) pada bgian tengah konjungtiva tarsus atas.4
Gambar 2. Trakoma dengan inflamasi.4
Gambar 3. Trakoma dengan parut konjungtiva ditunjukkan
dengan parut pada konjungtiva tarsus.4
II.7 DIAGNOSIS
Yang penting untuk mendirikan diagnosis trakoma adalah pemeriksaan :2
1. konjungtiva palpebra superior, dimana terlihat prefolikel, sikatrik.
2. konjungtiva forniks superior, dimana dapat terlihat folikel, sikatrik.
3. kornea 1/3 bagian atas, dimana dapat terlihat infiltrat, neovaskularisasi, folikel, Herbert’s peripheral pits.
Diagnosis trakoma ditegakkan berdasarkan :2
1. Gejala klinik
Bila terdapat 2 dari 4 gejala yang khas, sebagai berikut :
- adanya prfolikel di konjungtiva tarsalis superior
- folikel di konjungtiva forniks superior dan limbus kornea 1/3 bagian atas
- panus aktif di 1/3 atas limbus kornea
- sikatrik berupa garis-garis atau bintang di konjungtiva palpebra/forniks superior, Herbert’s peripheral pits di limbus kornea 1/3 bagian atas
2. Kerokan konjungtiva, yang dengan pewarnaan Giemsa dapat ditemukan badan inklusi Halber Statter-Prowazeck.
Diagnosis trakoma juga dapat ditegakkan bila terdapat 1 gejala klinis yang khas ditambah dengan kerokan konjungtiva yang menghasilkan badan inklusi.
3. Biakan kerokan konjungtiva di dalam kantung telur, menghasilkan badan inklusi dan badan elimenter dengan pewarnaan Giemsa.
4. Tes serologi dengan :
a. Tes fiksasi komplemen
Untuk menunjukkan adanya antibodi terhadap trakoma, dengan menggunakan antigen yang murni. Melakukannya mudah, tidak memerlukan peralatan canggih, cukup mempergunakan antigen yang stabil, mudah didapat di pasaran, mempunyai nilai diagnostik yang tinggi.
b. Tes mikro-imunofluoresen
Menentukan antibodi antiklamidial yang spesifik, beserta sifat-sifatnya (IgM, IgA, IgG). Lebih sukar dan memerlukan peralatan yang lebih canggih
II.8 DIAGNOSIS BANDING
Diagnosis banding adalah konjungtivitis inklusi, konjungtivitis folikuler, konjungtivitis vernalis.1,3
II.9 KOMPLIKASI DAN SEKUELE
Parut di konjungtiva adalah komplikasi yang sering terjadi pada trakoma dan dapat merusak duktuli kelenjar lakrimal tambahan dan menutupi muara kelenjar lakrimal. Hal ini secara drastis mengurangi komponen air dalam film air mata prekornea, dan komponen mukus film mungkin berkurang karena hilangnya sebagian sel goblet. Luka parut itu juga mengubah bentuk palpebra superior dengan membalik bulu mata ke dalam (trikiasis) atau seluruh tepian palpebra (entropion), sehingga bulu mata terus menerus menggesek kornea. Ini berakibat ulserasi pada kornea, infeksi bakterial kornea, dan parut pada kornea. Ptosis, obstruksi duktus nasolakrimalis, dan dakriosistitis adalah komplikasi umum lainnya pada trakoma.5
II.10TERAPI
Pada pengobatan trakoma, dibedakan :2
A. Pengobatan perorangan
Yang dianjurkan WHO, 1952 berupa pemberian kombinasi :
- pemakaian antibiotika tetrasiklin, aureomycin, acrhromycin (akhir-akhir ini ditambah dengan rifampisin, meclocyclin) berupa salep mata dengan konsentrasi 1% dipakai 3-4 kali sehari, dioleskan pada konjungtiva forniks inferior, sedikitnya selama 2 bulan.
- sulfonamide, yang dapat diberikan lokal ataupun sistemik dengan dosis 40-50 mg per kgBB, yang diberikan selama seminggu, kemudian dihentikan seminggu sampai 2 bulan. Harus diusahakan pemberian sulfonamide yang tidak toksis. Pengelolaannya harus teliti terhadap efek samping yang kurang baik dan mungkin timbul selama pengobatan.
B. Pengobatan massal
Prinsip dasar dalam pengobatan trakoma secara massal harus mencakup :
- pencarian kasus dan mengobatinya
- pendidikan kesehatan pada masyarakat
- merusak agen-agen vektor dan mengerjakan tindakan-tindakan sanitasi, sehingga lalat yang dapat menyebarluaskan penyakit dapat diberantas
Pada pengobatan massal tidak dipergunakan sulfa peroral, sebab selain mahal juga dapat menyebabkan keracunan (WHO, 1952).2
Cara pengobatan massal :2
1. Cara pengobatan yang terus-menerus :
Salep antibiotika 1% atau sulfa diberikan sedikitnya 2 kali sehari sampai sembuh, umumnya 2 bulan. Makin dini pengobatan dilakukan, hasilnya makin baik.
2. Cara pengobatan yang terhenti-henti (intermittent) :
Salep antibiotika 1% dipakai 2 kali sehari selama 3 hari berturut-turut. Hal yang sama diulangi setiap bulan selama 6 bulan berturut-turut. Pengobatan tidak diserahkan kepada penderita sendiri, tetapi dioleskan oleh yang petugas kesehatan, pada waktu datang berobat. Menurut Maxwell Lyons (1958), hasilnya sama dengan pemakaian yang terus-menerus.
3. Cara pengobatan yang menyeluruh (the blanket treatment method) :
Pada cara pengobatan ini, semua anggota keluarga dari anak yang menderita trakoma, mendapat pengobatan dengan salep mata antibiotika atau sulfonamide. Cara ini terutama dipakai untuk daerah dengan insiden trakoma yang tinggi dan tingkat ekonomi yang rendah. Menurut Maxwell Lyons (1958), memberikan hasil yang baik dimana jumlah trakoma aktif menurun.
Bila cara pengobatan dengan antibiotika atau sulfa tidak dapat dikerjakan, ada cara lain dengan menggunakan repository drugs, yaitu obat-obatan yang lambat diabsorpsi atau dihilangkan, seperti benzathine pennicilin dan sulphamethoxy-pyridazine (Bietti, 1959).2
Cara pemakaiannya :2
- benzathine pennicilin disuntikkan intramuskular setiap 7, 14, sampai 20 hari selama 3 bulan dengan dosis 2500 unit per kgBB
- sulphamethoxy-pyridazine dengan dosis 8-10 cg per kgBB diberikan setiap 7-10 hari selama 3 bulan
Di daerah-daerah dimana terdapat konjungtivitis akut akibat kuman seperti Koch Weeks, secara musiman, “The Expert Committee on Trachoma” menganjurkan vaksinasi terhadap infeksi ini, sehingga penyebaran dan penularan dari trakoma dapat ditekan.2
Adanya vaksin yang dapat memberi perlindungan selama tahun-tahun pertama kehidupan, dimana trakoma paling banyak berjangkit, akan memberikan pengawasan yang lebih baik, seperti yang telah tercapai dengan penyakit cacar, sampar dan sebagainya. Karenanya penelitian terhadap vaksin trakoma beserta kegunaannya dalam mencegah penyakit ini sangat diperlukan, yang baru dikerjakan di luar negeri (Afrika Barat, Gambia, Ethiopia) dengan hasil yang baik sebagai perlindungan.2
Tindakan operatif, diperlukan untuk mengatasi gejala sisa seperti trikiasis, entropion, dan jaringan parut di kornea. Entropion dan trikiasis harus ditangani segera, karena dapat menimbulkan kerusakan pada kornea. Trikiasis yang ringan diatasi dengan koagulasi dari folikel bulu mata. Pada trikiasis yang disertai dengan entropion, dilakukan tarsotomi, yang harus memperbaiki kedudukan bulu mata yang salah, posisi bulu mata yang salah jangan sampai kambuh lagi dan tidak menimbulkan deformitas yang banyak pada bulu mata. Di Indonesia banyak dipakai tarsotomi dari Wheeler yang dimodifikasi oleh Sie Boen Lian. Jaringan parut di kornea, yang menimbulkan gangguan visus bahkan hampir buta, ditanggulangi dengan keratoplasti, dimana kornea donor yang telah meninggal, dapat menggantikan kornea penderita yang sudah rusak.2
II.11 PROGNOSIS
Khas, trakoma adalah penyakit menahun yang berlangsung lama. Dengan kondisi higiene yang baik (khususnya mencuci muka pada anak-anak), penyakit ini sembuh atau bertambah ringan sehingga sekuele berat terhindarkan. Sekitar 6-9 juta orang di dunia telah kehilangan penglihatannya karena trakoma.5
DAFTAR PUSTAKA
1. Ilyas, S. Mata Merah dengan Penglihatan Normal : Trakoma dalam Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI, Edisi III, Cetakan pertama, Jakarta, hal 137-40, 2004.
2. Wijana, N. Konjungtiva : Konjungtivitis Folikularis Trakoma dalam Ilmu Penyakit Mata, Cetakan keenam, Jakarta, hal 59-69, 1993.
3. Ilyas, S., Tanzil, M., Salamun., Azhar, Z. Konjungtiva-Sklera : Trakoma (Kongtivitis Trakomatosa) dalam Sari Ilmu Penyakit Mata, Balai Penerbit FK UI, Cetakan ketiga, Jakarta, hal 39-40, 2003.
4. Solomon, A. Trachoma in http://www.emedicine.com/OPH/topic118.htm, March 17, 2005.
5. Schwab, I. R., Dawson, C. R. Konjungtiva : Konjungtivitis Klamidia, Trachoma dalam Oftalmologi Umum, Penerbit Widya Medika, Edisi 14, Cetakan pertama, Jakarta, hal 105-8, 2000.
No comments:
Post a Comment