Pages

Sunday, 19 September 2010

Ablasio Retina


II.1. Anatomi dan Fisiologi Retina
Retina merupakan membran yang tipis, halus dan tidak berwarna, tembus pandang, yang terlihat merah pada fundus adalah warna dari koroid. Retina ini terdiri dari bermacam-macam jaringan, jaringan saraf dan jaringan pengokoh yang terdiri dari serat-serat Mueler, membrana limitans interna dan eksterna, sel-sel glia. (1)
Membrana limitans interna letaknya berdekatan dengan membrana hyaloidea dari badan kaca. Pada kehidupan embrio dari optik vesicle terbentuk optic cup, dimana lapisan luar membentuk lapisan epitel pigmen dan lapisan dalam membentuk lapisan retina lainnya. Bila terjadi robekan di retina, maka cairan badan kaca akan melalui robekan ini, masuk ke dalam celah potensial dan melepaskan lapisan batang dan kerucut dari lapisan epitel pigmen, maka terjadilah ablasi retina. (1)

Retina terbagi atas 3 lapis utama yang membuat sinap saraf sretina, yaitu sel kerucut dan batang, sel bipolar, dan sel ganglion.
Terdapat 10 lapisan yang dapat dibedakan secara histologik, yaitu dari luar ke dalam :
1. lapis pigmen epitel yang merupakan bagian koroid
2. lapis sel kerucut dan batang yang merupakan sel fotosensitif
3. membran limitan luar
4. lapis nukleus luar merupakan nukleus sel kerucut dan batang
5. lapis pleksiform luar, persatuan akson dan dendrit
6. lapis nukleus dalam merupakan susunan nukleus luar bipolar
7. lapis pleksiform dalam, persatuan dendrit dan akson
8. lapis sel ganglion
9. lapis serat saraf, yang meneruskan dan menjadi saraf optik
10. membran limitan interna yang berbatasan dengan badan kaca. (5)

Pada orang tua dan pada penderita miopia tinggi, diora serta sering didapatkan degenerasi kistoid, yang bisa pecah dapat menimbulkan ablasi retina. Epitel pigmen dari retina kemudian meneruskan diri menjadi epitel pigmen yang menutupi badan siliar dan iris. Dimana aksis mata memotong retina, terletal di makula lutea. Besarnya makula lutea 1-2 mm. Daerah ini daya penglihatannya paling tajam, terutama di fovea sentralis.

Struktur Makula lutea :
1. Tidak ada serat saraf.
2. Sel-sel ganglion sangat banyak di pinggir-pinggir, tetapi di makula sendiri tidak ada.
3. Lebih banyak kerucut daripada batang dan telah dimodifikasi menjadi tipis-tipis. Di fovea sentralis hanya terdapat kerucut. (1)

Pada bagian posterior retina tidak terdiri dari 10 lapisan. Hal ini untuk memudahkan sinar dari luar mencapai sel kerucut dan batang. Bagian ini disebut makula lutera yang pada pemeriksaan funduskopi koroid terlihat lebih jelas karena tipis adanya refleks fovea karena sinar dipantulkan kembali. Fovea sentral merupakan bagian retina yang sangat sensitif dan yang akan menghasilkan ketajaman penglihatan maksimal atau 6/6. Jika terjadi kerusakan pada fovea sentral ini, maka ketajaman penglihatan sangat menurun karena pasien akan melihat dengan bagian perifer makula lutera. (5)

II.2. Definisi dan Patogenesis Ablasi Retina
Menurut Ilyas ablasi retina merupakan kelainan retina dimana lapisan keerucut dan batang retina terpisah dari sel epitel pigmen retina. Sesungguhnya antara sel kerucut dan sel batang retina tidak tidak terdapat suatu perlekatan struktural dengan koroid atau pigmen epital, sehingga merupakan titik lemah yang potensial untuk lepas secara embriologis (2).
Lepasnya retina atau sel kerucut dan batang dari koloid atau sel pigmen epitel akan mengakibatkan gangguan nutrisi retina yang mendapat makannya dari pembuluh darah koloid yang jika berlangsung lama akan mengakibatkan gangguan fungsi yang menetap (2).
II.3. Klasifikasi
Menurut Ghozi dikenal 3 bentuk ablasi retina berdasarkan kejadiannya : (3)
a. Ablasi retina regmatogenosa (oleh karena robekan)
b. Ablasi retina eksudatif (penimbunan cairan)
c. Ablasi retina traksi (tarikan)

a. Ablasi retina regmatogenosa
Ablasi retina regmatogenosa terjadi akibat atau didahului adanya robekan pada retina sehingga akan mempermudah masuknya cairan yang berasal dari badan kaca ke dalam celah potensial antara sel pigmen epitel dengan retina. Terjadi pendorongan retina oleh badan kaca air (fluid vitreous) yang masuk melalui robekan atau lubang pada retina ke rongga subretina sehingga mengapungkan retina dan terlepas dari lapisan epitel pigmen koroid. (2)

b. Ablasi retina eksudatif
Ablasi retina eksudatif, ablasi yang terjadi akibat penimbunan cairan subretina. Penimbunan cairan subretina sebagai akibat keluarnya cairan dari pembuluh darah retina dan koroid (ekstravasasi) seperti pada penyakit koroid. Kelainan ini dapat terjadi pada skeleritis, koroiditis, tumor retobulbar radang uvea, idiopati, toksemia gravidarum. Cairan dibawah retina tidak dipengaruhi oleh posisi kepala permukaan retina yang terangkat akn terlihat licin. (6)
Penglihatan dapat berkurang dari ringan sampai berat. Ablasi ini dapat hilang atau menetap bertahun-tahun setelah penyebabnya berkurang tau hilang.

c. Ablasi retina traksi
Ablasi retina traksi (tarikan) terjadi karena lepasnya jaringan retina akibat tarikan jaringan perut dari badan kaca sehingga lapisan batag dan kerucut terlepas tanpa robekan. Hal ini mengakibatkan penglihatan menurun tanpa rasa sakit. (7)
Pada badan kaca terdapat jaringan fibrosis yang dapat disebabkan Diabetes Melitus proliferatif, trauma dan pendarahan badan kaca akibat bedah atau infeksi. Pengobatan ablasi akibat tarikan di dalam badan kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan perut/ fibrosis di dalam badan kaca dengan tindakan yang disebut sebagai vitrektomi. (2)
Sedangkan menurut penyebabnya maka ablasi retina diklasifikasikan sebagai berikut: (1)
A. Ablasi primer
B. Ablasi sekunder

A. Ablasi primer
Mata sebelumnya tidak sakit pada suatu waktu timbul ablasi retina.
1. Umur tua
Proses sklerosis, menyebabkan retina menjadi degeneratif, menimbulkan robekan dan ablasi retina pada orang tua dan miopia tinggi, di ora serata sering menimbulkan degenerasi kistoid yang mudah pecah, yang juga dapat menimbulkan ablasi retina. (1)
2. Miopia tinggi
Miopia tinggi disertai degenerasi retina, menimbulkan robekan dan menyebabkan ablasi retina. (1)
3. Trauma
Ablasi terjadi pada mata yang mempunyai faktor predisposisi untuk terjadi ablasi retina. Trauma hanya merupakan faktor pencetus untuk terjadinya ablasi retina pada mata yang berbakat. Mata yang berbakat untuk terjadinya ablasi retina adalah matadengan miopia tinggi, pasca retinitis, dan retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer, 50 % ablasi yang timbul pada afakia terjadi pada tahun pertama. (7)


B. Ablasi Sekunder
Disebabkan penyakit lain :
1. Tumor koroid atau retina yang tumbuh ke depan, menyebabkan lepasnya retina dari lapisan epitel pigmen, kemudian disusul dengan timbulnya eksudasi oleh karena rangsangan, cairan ini mengumpul di dalam celah potensial, menyebabkan ablasi retina misalnya pada retinablastoma.
2. Transudat, pada hipertensi, retinopati nefritika, coat’s disease.
3. Eksudat, pada koroiditis.
4. Oleh karena retraksi dari jaringan organisasi pada retinitis proliferas akibat perdarahan di badan kaca atau peradangan dari uvea atau retina yang masuk ke dalam badan kaca, trauma perforata, dapat menimbulkan robekan dan disusul dengan ablasi retina. Disini menutup robekan tidak ada gunanya, oleh karena jaringan fibrotik itu akan menarik lagi dan menimbulkan robekan baru. (1)
Ablasi retina, biasanya dihubungkan dengan pemisahan retina yang terjadi karena adanya robekan pada retina. Robekan retina berbentuk ladam kuda sering terdapat di temporal atas. Cairan badan kaca masuk melalui robekan ini ke dalam celah potensial yang terletak dimulai dari temporal atas, lambat laun meluas kebawah oleh karena cairan selalu mencari tempat yang terendah, yang disebabkan oleh daya tarik bumi. Ablasi makin lama makin tinggi, karena cairan yang masuk makin lama makin banyak, juga makin luas dan retinanya menjadi berlipat-lipat untuk akhirnya seluruh retina terlepas, terkecuali pada ora serata dan papil saraf optik, ia masih melekat. Keadaan ini dinamakan ablasi total. (3)





II.4. Diagnosa ablasi retina
a. Pemeriksaan Subyektif
 Fotopsia
Keluhan paling awal dari ablasi retina adalah fotopsia yaitu sensasi melihat adanya kilatan-kilatan cahaya pada lapang pandangan. Fotopsia ini merupakan pertanda dini terjadinya sobekan pada retina, yang biasanya terletak dibagian perifer retina. Fotopsia ini akan lebih nyata bila mata digerakkan dan digoyangkan dengan kuat di tempat gelap. Sering ablasi retina ini dihubungkan dengan trauma. Biasanya pada tempat retina yang sobek ini akan masuk cairan intraokular kebelakang retina. Pasien dalam waktu yang singkat akan mengeluh penglihatannya menurun. Penurunan tajam penglihatan ini disebabkan makula letea terangkat atau lepas atau akibat media penglihatan menjadi keruh. Lapang pandangan akan terlihat seperti tabir.
 Karena caian ablasi bergerak mencari tempat yang rendah, maka penderita merasakan seolah-olah melihat suatutirai yang bergerak ke suatu arah.
 Bila terjadi di bagian temporal, dimana terletak makula lutea, maka virus sentral lenyap. Sedangkan bila terdapat di bagian nasal, visus sentral lebih lambat terganggu.
 Lambat laun tirai makin turun dan menutupi sama sekali matanya, karena terdapat ablasi retina total, sehingga persepsi cahaya menjadi nol.
Jarak waktu antara gejala awal hingga hilangnya penglihatan bervariasi dari waktu jam hingga bulan. Pada kasus afaksi akan lebih cepat. Trauma pada bola mata atau pembedahan intraikuler dapat mengakibatkan ablasi retina. Mungkin ablasi retina baru akan terjadi beberapa hari tetapi juga sampai beberapa tahun kemudian gangguan lapang pandang dapat berubah-ubah hingga ablasi hingga ablasi retina yang di atas akan mengakibatkan gangguan lapang pandang di bagian bawah, menjadi kurang terasa. Gangguan lapang pandangdi pinggir akan meluas sedikit demi sedikit kan mencapai makula dan penderita mendadak sadar bahwa penglihatannya menurun secara tajam. Jika ablasi berlanjut maka hilanglah penglihatannya. (3)
Peristiwa tersebut berlangsung tanpa keluhan rasa sakit. Hal ini karena retina tidak mempunyai serabut saraf rasa sakit sehingga penyakit-penyakit retina tidak menimbulkan nyeri. Disamping itu tidak menyebabkan mata merah. (7)

b. Pemeriksaan Obyektif
Pemeriksaan oftalmoskopik dimaksudkan untuk menilai keadaan media refraksi dan menentukan luas daerah ablasi. Juga untuk menentukan jenis ablasinya, apakah ablasi retina serosa atau ablasi retina akibat robekan (regmatogenus atau tarikan). Pada ablasi retina regmatogenus harus dicari robekan retina. Sebab ini sangat penting pada pengobatan penbedahannya.
Pada pemeriksaan funduskopi retina terlihat lebuh pucat akibat terangkatnya retina dengan pembuluh darah diatasnya berkelok-kelok sesuai dengan gelombang retina yang terangkat. Pada retina akan tampak robekan yang berwarna merah, reflek merah dari koroid (6).
Permukaan retina pada ablasi retina regmatogenus terlihat tidak licin, bergoyang pada saat bergerak. Mudah goyang ini karena kepekatan yang rendah dari cairan subretinanya. Pada ablasi regmatogenus cairan tetap di ruangan sub retina, walaupun elevasinya tinggi. Retina umumnya tampak melipat.
Pemeriksaan tekanan bola mata umumnya rendah dapat meninggi bila telah terjadi neovaskular glaukoma pada ablasi yang telah berlangsung lama, maka pada retina timbul gangguan metabolisme zat-zat toksis yang ditimbulkan, menyebabkan degenerasi dan antrofi dari retina. Karena batang dan kerucut mendapat makanan dari kapiler koroid, sehingga menjadi rusak sebab makanannya terputus. Biasanya retina menjadi lebih bening dan tampak garis demarkasi yang khas terbentuk karena kerusakan epitel pigmen yang membatasi retina yang ablasi dari yang normal. (4)
Munurut Waliban mata satunya juga harus diperiksa, karena sering ditemukan lubang retina atau perlekatan vitreoretina yang bisa menyebabkan terjadinya robekan.
Predisposisi untuk terjadinya ablasi retina adalah mata yang berbakat terjadi ablasi retina yaitu mata dengan :
1. Miopia tinggi
2. Pasca retinitis
3. Retina yang memperlihatkan degenerasi di bagian perifer.

II.5. Diagnosis Banding
Diagnosis banding yang harus dipertimbangkan adalah: (4)
1. Retinoskisis
2. Ablasi koroid
3. Melanoma koroid yang ganas
Retinoskisis adalah kelainan retina dengan gambaran terjadi pemisahan lapisan-lapisan retina. Bila pada ablasi retina pemisahan terjadi antara epitel pigmen retina dengan lapisan sensori retina, maka retinoskisis pemisahan lapisan retina dapat terjadi di lapisan sensori mana saja, misalnya di lapisan pleksiform luar atau dalam lapisan syaraf optik. Pada pemeriksaan oftalmologis didapatkan permukaan dinding dalam retina yang berbentuk kubah tidak berubah pada saat bola mata bergerak dan juga tidak ada perubahan bentuk serta lokasi karena gaya gravitasi karena dinding dalam amat tipis dan transparan, maka pembuluh darah yang terdapat padanya akan membentuk bayangan/proyeksi dari EPR, sehingga mengurangi kebeningannya (tidak transparan). Akibat proyeksi pembuluh darah di lapisan tidak kelihatan dan posisi serta bentuknya sangat dipengaruhi oleh gravitasi.
Koroid yang mengalami ablasi tidak dibatasi oleh ora serata, tetapi meluasnya ablasi koroid tersebut terhambat di tempat masuknya pembuluh darah vorteks ke dalam sklera. Epitel pigmen masih tetap terlihat, tetapi struktur koroid tidak tampak.
Pada melanoma koroid ganas, dengan perubahan posisi penderita, cairan subretina akan bergerak. Tumor ini posisinya tidak dipengaruhi baik oleh ora serata maupun oleh pembuluh-pembuluh darah vorteks. (4)
II.6. Terapi
 Pada ablasi regmatogenosa diperlukan pembedahan, karena jarang sekali terjadi pertautan kembali secara spontan.
 Tindakan pertama adalah pembedahan, karena daerah retina dan dibuat peta rinciannya yang memuat lubang-lubang retina dan daerah-daerah tarikan vitreoretina.
 Melekatkan kembali bagian retina yang lepas yaitu dengan :
- Diatermi (koagulasi)
Diaterna yaitu energi listrik berfrekuensi tinggi yang dialirkan pada sklera berubah menjadi energi panas, sehingga dapat mengkoagulasi koroid dan retina. (4)
Hal ini dapat dilaksanakan dengan atau tanpa mengeluarkan cairan subretina. Pengeluaran dilaksanakan di luar daerah reseksi dan terutama di daerah di mana ablasi paling tinggi.
- Implantasi silikon di daerah sobekan retina. Implantasi di letakan di dalam kantong sklera yang sudah direseksi, yang akan mendekatkan sklera dengan retina dan mengakibatkan pengikatan yang terlokalisir.
- Menempatkan sabuk (band) pada implantasi untuk menahan implan dan cairan subretina agar tidak mengalir ke belakang.
 Pada ablasi retina eksudatif akan sembuh bila eksudasi berhenti dan terjadi resorbsi. Pembedahan tidak menolong.
 Pengobatan ablasi retina tarikan di dalam badan kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis di dalam badan kaca dilakukan dengan melepaskan tarikan jaringan parut atau fibrosis di dalam badan kaca dengan tindakan vitrektomi.

II.7. Prognosis
1. Baik sekali, bila pertama kali operasi berhasil 50-60 %
2. Bila operasi pertama tak berhasil, diulangi lagi dua kali, prognosis 15 %
3. Operasi yang berulang kali atau ablasi yang lama, prognosis buruk sekali
4. Pada miopia tinggi, karena ada proses degenerasi retina, prognosis buruk.
Menurut Waliban prognosis retina traumatik adalah buruk yang disebabkan oleh cedera makula, robekan retina yang luas, dan pembentukan membran fibroseluler intravitreal yang terjadi pada cedera tembus. Membran intravitreal seperti ini memiliki gaya kontraktil yang cukup kuat untuk terjadinya ablasi retina. Tindakan yang efektif adalah vitrektomi, tetapi penentuan waktunya masih kontroversial. Endotalmis adalah indikasi untuk vitrektomi dini. Pada kasus-kasus yang tidak mengalami infeksi, penundaan pembedahan sampai 10-14 hari bisa mengurangi risiko perdarahan intra bedah, dan memungkinkan terjadinya ablasi badan kaca posterior, yang secara teknis memudahkan pembedahan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Wijana, N, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Perpustakaan Nasional, Jakarta.

2. Ilyas, S, 1997, Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

3. Ghozi, M, 1997, Ilmu Kesehatan Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Yogyakarta.

4. Vaughan, D dan Asbury, T, 1990, General Ophtalmology, Widya Medika, Jakarta.

5. Ilyas, S, 1998, Penuntun Ilmu Penyakit Mata, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Jakarta.

6. Glasspool, M. G, 1990, Atlas Berwarna Ophtalmology, Widya Medika, Jakarta.

7. Radjamin, R. K, dkk, 1993, Ilmu Penyakit Mata, Airlangga University Press, Surabaya.

No comments:

Post a Comment