Pages

Wednesday, 11 November 2009

Kolitis Ulseratif : Deskripsi Singkat



2.1 Anatomi dan Fisiologi Kolon
Usus besar merupakan tabung muskular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki yang terbentang dari sekum sampai canalis ani. Usus besar dibagi menjadi sekum, colon (ascenden, tranversum, descenden, sigmoid) dan rektum. Pada sekum terdapat katup illeosekal dan appendik yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati 2/3 atau 3 inchi pertama dari usus besar. Katup illeosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum.
Colon dibagi menjadi colon ascenden, tranversum, desenden dan sigmoid. Colon sigmoid mulai dari krista iliaka dan berbentuk lekukan seperti huruf S. Usus bear memilki 4 lapisan seperti juga pada usus lainnya. Akan tetapi ada beberapa gambaran khas pada usus besar. Lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi berkumpul dalam 3 pita yang dinamakan taenia colli. Taenia bersatu pada sigmoid distal menjadi satu lapisan otot longitudinal yang lengkap. Panjang taenia lebih pendek dari pada usus kecil, hal ini menyebabkan usus tertarik dan berkerut membentuk kantong- kantong kecil yang disebut haustra. Lapisan mukosa usus besar jauh lebih tebal daripada lapisan mukosa usus halus dan tidak mengandung villi atau rugae. Krista lieberkuhn (kelenjar intestinal) terletak lebih dlam dan mempunyai lebih banyak sel goblet daripada usus halus.
Usus besar secara klinis dibagi menjadi belahan kiri dan kanan sesuai dengan suplai darah yang diterima. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi belahan bagian kanan (sekum, kolon ascenden, dan 2/3 proksimal kolon tranversum), dan arteri mesenterika inferior untuk belahan bagian kiri (1/3 distal kolon tranversum, kolon descenden, sigmoid, dan bagian proksimal rektum). Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior, dan vena hemoroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati.
Persyarafan usus besar disuplai oleh sistem syaraf otonom dengan pengecualian m. sfingter ani eksterna berada dibawah kontrol volunter. Serabut syaraf parasimpatis berjalan melalui syaraf vagus kebagian tengan kolon tranversum, dan syaraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral memsuplai bagian distal. Serabut simpatis meninggalkan medula spinalis melalui syaraf splangnikus untuk mencapai kolon. Peransangan simpatis menyebabkan hambatan sekresi, kontraksi, dan perangsangan sfingter rektum, edangkan perangsangan parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan.
Usus besar mempunyai fungsi yang berkaitan dengan proses akhir isi usus. Fungsi yang paling penting adalah mengabsorbsi air dan elektrolit, yang sudah hampir lengkap pada kolon bagian kanan. Kolon sigmoid berfungsi sebagai reservoir untuk menampung masa feses yang sudah dehidrasi sampai defekasi berlangsung. Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 2000ml per hari, bila jumlah ini dilampaui maka akan terjadi diare.
Sedikit pencernaan yang terjadi di usus besar, terutama diakibatkan oleh bakteri dan bukan karena kerja enzim. Usus besar mensekresi mukus alkali yang tidak mengandung enzim yang berfungsi untuk melumasi dan melindungi mukosa.
Pada umumnya pegerakan usus besar adalah lambat, dan gerakan yang khas adalah gerakan mengaduk haustra, dimana haustra teregang dan dari waktu- ke waktu otot sirkuler akan berkontraksi untuk mengosongkannya. Pergerakan ini menyebabka isi usus bergerak bolak- balik dan meremas- remas sehingga memberi cukup waktu untuk absorbsi.
Rektum dan anus merupakan tempat penyakit yang sering ditemukan pada manusia misalnya inkontinensia alvi bisa disebakan oleh kerusakan otot sfingter atau kerusakan medula spinalis dan daerah anorektal sering menjadi tempat abses dan fistula.

2.2 Definisi
Kolitis ulseratif adalah penyakit kronis dimana usus besar atau kolon mengalami inflamasi dan ulserasi menghasilkan keadaan diare berdarah, nyeri perut, dan demam.
Kolitis ulseratif dikarakteristikkan dengan eksaserbasi dan remisi yang intermiten dari gejala. Serangan pertama dari penyakit ini masih mempunyai diagnosis banding yang luas (tabel 1) sehingga untuk menegakkan diagnosisnya dilakukan dengan penapisan berbagai penyebab lain (terutama penyebab infeksi) dan dengan pemeriksaan sigmoidoskopi atau kolonoskopi dengan biopsi. Serangan pertama kolitis ulseratif mempunyai gejala prodromal yang lebih lama daripada penyakit infeksi akut. Bukti pendukung diagnosis kolitis ulseratif adalah ketidak terlibatan usus kecil.

Tabel 1.
Penyakit infeksi
Acute bacterial colitis ( acute self limited colitis)
Campylobacter
Salmonella
Shigella
Yersinia
Eschericia coli 0157: H7
Antibiotic associated diarrhea
Amebic Colitis
Immunocompromised Host
Cytomegalovirus
Herpes simplex virus
Neisseria gonorrhoeae
Blastocystis hominis
Chlamydia
Penyakit non infeksi
Crohn’s colitis
Ischemic colitis
Radiation colitis
Collagenous or microscopic colitis


2.3 Klasifikasi
Berdasarkan lokasi kolon yag terkena penyakit ini diklasifikasikan sebagai:
Proktitis dan proktosigmoiditis (50%), mengenai lokasi rectum dan sigmoid
left-sided colitis (30%), mengenai lokasi kolon desenden (fleksura splenika)
extensive colitis (20%), mengenai lokasi kolon keseluruhan

Berdasarkan derajat keparahannya penyakit ini diklasifikasikan sebagai colitis ulseratif ringan, sedang, dan berat (table 2), dengan menggunakan parameter frekuensi defekasi (per hari), pulsus (denyut/menit), hematokrit (%), penurunan berat badan (%), temperature (°C/°F), LED (mm/h), dan albumin (g/dl).

2.4 Etiologi
Penyebab pasti dari penyakit ini masih belum juga diketahui. Teori tentang apa penyebab kolitis ulseratif sangat banyak, tetapi tidak satupun dapat membuktikan secara pas. Penelitian-penelitian telah dilakukan dan membuktikan adanya kemungkinan lebih dari satu penyebab dan efek kumulasi dari penyebab tersebut adalah akar dari keadaan patologis. Penyebabnya meliputi herediter, faktor genetik, faktor lingkungan, atau gangguan sistem imun. Secara garis besar dapat dibagi menjadi dua kelompok yaitu faktor ekstrinsik dan faktor intrinsik.

Faktor ekstrinsik
1.Diet: asupan makanan cepat saji dan gula telah dihubungkan pada banyak penelitian dengan kemungkinan menderita kolitis ulseratif.
2.Infeksi: beberapa peneliti menyatakan bahwa kolitis ulseratif dapat berhubungan dengan beberapa infeksi saluran cerna yang disebabkan oleh mikroorganisme E. Coli. Satu teori menjelaskan bahwa virus measles yang belum dibersihkan dari tubuh dengan tuntas dapat menyebabkan inflamasi kronik ringan dari mukosa usus.
3.Obat-obatan: penelitian juga menunjukkan hubungan antara asupan oral pil kontrasepsi dan kolitis ulseratif dapat menyebabkan pasien menderita serangan apalagi jika mengkonsumsi antibiotik dan NSAIDs.

Hal yang terpenting adalah meskipun banyak dari orang yang memakan diet buruk atau mempunyai infeksi E. Coli belum pasti akan menderita kolitis Ulseratif sehinga dapat disimpulkan bahwa masih ada sesuatu yang membuat seseorang menjadi lebih rentan

Faktor intrinsik
1.Gangguan sistem imun: beberapa ahli percaya bahwa adanya defek pada sistem imun seseorang berperan dalam terjadinya inflamasi dinding usus. Gangguan ini ada 2 jenis:
a.Alergi: beberapa penelitian menunjukan bahwa kolitis ulseratif adalah bentuk respon alergi terhadap makanan atau adanya mikroorganisme di usus
b.Autoimun: penelitian terbaru menunjukkan bahwa kolitis ulseatif dapat merupakan suatu bentuk penyakit autoimun dimana sistem pertahanan tubuh menyerang organ dan jaringan tubuh sendiri. Diantaranya adalah usus besar.
2.Genetik: penelitian terbaru menujukkan bahwa faktor genetik dapat meningkatkan kecenderungan untuk menderita kolitis ulseratif.
3.Faktor herediter: adanya anggota keluarga yang menderita kolitis ulseratif akan meningkatkan resiko anggota keluarga lain untuk menderita penyakit serupa.
4.Psikosomatik: pikiran berperan penting dalam menjaga kondisi sehat atau sakit dari tubuh. Setiap stres emosional mempunyai efek yang merugikan sistem imun sehingga dapat menyebabkan penyakit kronik seperti kolitis ulseratif. Terdapat fakta bahwa banyak pasien kolitis ulseratif mengalami situasi stres berat dikehidupannya.

2.5 Patofisiologi
Kolitis ulseratif merupakan penyakit primer yang didapatkan pada kolon, yang merupakan perluasan dari rektum. Kelainan pada rektum yang menyebar kebagian kolon yang lain dengan gambaran mukosa yang normal tidak dijumpai. Kelainan ini akan behenti pada daerah ileosekal, namun pada keadaan yang berat kelainan dapat tejadi pada ileum terminalis dan appendiks. Pada daerah ileosekal akan terjadi kerusakan sfingter dan terjadi inkompetensi. Panjang kolon akan menjadi 2/3 normal, pemendekan ini disebakan terjadinya kelainan muskkuler terutama pada koln distaldan rektum. Terjadinya striktur tidak selalu didaptkan pada penyakit ini, melaikan dapat terjadi hipertrofi lokal lapisan muskularis yang akan berakibat stenosis yang reversibel
Lesi patologik awal hanya terbatas pada lapisan mukosa, berupa pembentukan abses pada kriptus, yang jelas berbeda dengan lesi pada penyakit crohn yang menyerang seluruh tebal dinding usus. Pada permulaan penyakit, timbul edema dan kongesti mukosa. Edema dapat menyebabkan kerapuhan hebat sehingga terjadi perdarahan pada trauma yang hanya ringan, seperti gesekan ringan pada permukaan.
Pada stadium penyakit yang lebih lanjut, abses kriptus pecah menembus dinding kriptus dan menyear dalam lapisan submukosa, menimbulkan terowongan dalam mukosa. Mukosa kemudian terlepas menyisakan daerah yang tidak bermukosa (tukak). Tukak mula- mula tersebar dan dangkal, tetapi pada stadium yang lebih lanjut, permukaan mukosa yang hilang menjadi lebih luas sekali sehingga menyebabkan banyak kehilangan jaringan, protein dan darah.

2.6 Manifestasi Klinis
Tanda utama ialah perdarahan dari rektum dan diare bercampur darah, nanah, dan lendir. Biasanya disertai tenesmus dan kadang inkontinensia alvi. Biasanya penderita mengalami demam, mual, muntah, dan penurunan berat badan.
Terdapat tiga tipe klinis kolitis ulseratif yang sering terjadi, yan dikaitkan dengan seringnya gejala. Kolitis ulseratif akut fulminan ditandai dengan awitan mendadak dan disertai pembentukan terowongan dan pengelupasan mukosa, menyebabkan keilangan banyak darah dan mukus. Jenis kolitis ini terjadi pada sekitar 10% penderita. Prognosisnya jelek dan sering terjadi komplikasi megakolon toksik.
Sebagian besar penderita kolitis ulseratif merupakan jenis yang intermiten (rekuren). Timbulnya kecenderungan selama- berbulan- bulan sampai bertahun- tahun. Bentuk ringan penyakit ditandai oleh serangan singkat yang terjadi dengan interval berbulan-bulan sampai bertahun-tahun dan berlangsung selama 1-3 bulan. Mungkin hanya terdapat sedikit atau tidak ada demam atau gejala- gejala konstitusional, dan biasanya hanya kolon bagian distal yang terkena. Demam atau gejala sistemik dapat timbul pada bentuk yang lebih berat dan serangan dapat erlangsung selama 3-4 bulan, kadang- kadang digolongkan sebagai tipe kronik kontinyu, penderita dibandingan dengan tipe intermiten, kolon yang terkena cenderung lebih luas dan lebih sering terjadi komplikasi terus menerus diare setelah serangan permulaan.
Pada kolitis ulseratif ringan, diare mungkin ringan dengan perdarahan ringan dan intermitten. Pada penyakit yang berat defekasi dapat lebih dari 6 kali seharidisertai banyak darah dan mukus. Kehilangan banyak darah dan mukus yang kronik dapat mengakibatkan anemia dan hipoproteinemia. Nyeri kolik hebat ditemukan pada abdomen bagian bawah dan sedikit mereda setelah defekasi. Sangat sedikit kematian yang disebabkan penyakit ini tapi dapat menimbulkan cacat ringan atau berat.
Komplikasi sistemik antara lain berupa pyoderma dan arthropaty. Pada kolitis ulseratif juga terdapat berbagai manifestasi diluar kolon.
Manifestasi kolitis diluar kolon:
1.Sistemik
laju endap darah tinggi
anemia feripriva
gangguan gizi: malnutrisi, gangguan pertumbuhan dan penurunan berat badan
2.Kulit dan mukosa (agak jarang)
eritema nodusum
eritema multiforme
pioderma gangrenosa
dematitis pustulosa
stomatistis aftosa
3.Uveitis dan iritis
4.kelainan orthopedik
arthralgia
arthritis
spondilitis ankilopoetika
5.kelainan hepato-pankreato-bilier
perikolangitis
sirosis hati
kolangitis sklerosans intrahepatik
kolelitiasis
karsinoma saluran empedu
insufisiensi pankreas

Pada pemeriksaan perut kadang di dapat nyeri tekan dan pada colok dubur mungkin terasa nyeri karena adanya fisura.

2.7 Pemeriksaan Penunjang
Tidak ada pemeriksaan atau test khas. Pada rektosigmoidoskopi akan tampak gambaran radang, dan pemeriksaan laboratorium di dapat adanya anemia, leukositosis, dan peninggian laju endap darah. Pemeriksaan pencitraan kolon dapat terlihat kelainan mukosa dan hilangnya haustra. Pemeriksaan radiologi dengan barium pada kolon membantu menentukan luas perubahan pada kolon yang lebih proksimal, tetapi sebaiknya tidak dilakukan pada saat terjadi serangan akut, karena dapat mempercepat terjadinya megakolontoksik dan perforasi. Kolonoskopi dan biopsi dapat seringkali membantu membedakan kolitis ulseratif dan kolitis granulomatosa. Biopsi mukosa untuk tingkat berat ringannya kelainan, menyingkirkan adnya lesi lain dan deteksi terhadap karsinoma, menilai hasil pengobatan serta dalam rangka penelitian terhadap penyakit ini. Kolonoskopi dilakukan dengan hati- hati karena dinding kolon sangat tipis.

2.8 Komplikasi
Komplikasi koitis ulseratif dapat bersifat lokal ataupun sistemik. Fistula, fisura dan abses rektal tidak sering seperti pada colitis granulomatosa. Kadang- kadang terbentuk fistula rektovagina, dan beberapa penderita dapat mengalami penyempitan lumen usus akibat fibrosis yang umumnya lebih ringan.
Salah satu komplikai yang lebih berat adalah dilatasi toksik atau megakolon, dimana terjadi paralisis fungsi motorik kolon tranversum disertai dilatasi cepat segmen usus tersebut. Megakolon toksik paling sering menyertai pankolitis, mortalitas sekitar 30% dan perforasi usus sering terjadi. Pengobatan untuk komplikasi ini adalah kolektomi darurat.
Komplikasi lain yang cukup bermakna adalah karsinoma kolon, dimana frekuensinya semakin meningkat pada penderita yang telah menderita lebih dari 10 tahun pertama penyakit, mungkin hal ini mencerminkan tingginya angka pankolitik pada anak.
Perkembangan karsinoma kolon yang terdapat dala pola penyakit radang usus menunjukkan perbedaan penting jika dibandinkan dengan karsinoma yang berkembang pada populasi nonkolitik. Secara klinis banyak tanda peringatan dini dari neoplasma yaitu perdarahan rektum, perubahan pola buang air besar) akan menyulitkan interpretasi pola kolitis. Pada pasien kolitis distribusi pada kolon lebih besar dari pada pasien nonkolitis. Pada pasien non kolitis sebagian esar karsinoma pada bagian rekosigmoid, yang dapat dicapai dengan sigmoidoskopi. Pada pasien kolitis, tumor seringkali multiple, datar dan menginfiltrasi dan tampaknya memilki tingkat keganasan yang lebih tinggi.
Komplikasi sistemik yang terjadi sangat beragam, dan sukar dihubungkan secara kausal terhadap penyakit kolon. Komplikasi ini berupa pioderma gangrenosa, episkleritis, uveitis, skleritis, dan spondilitis anilosa. Gangguan fungsi hati sering terjadi pada kolitis ulseratif dan sirosis hatimerupakan komplikasi yang sudah dapat diterima. Adanya komplikasi sistemik berat dapat menjadi indikasi pembedahan pada kolitis ulseratif, bahkan bila gejala- gejala kolon adalah ringan sekalipun.

2.9 Tata Laksananya
Ada dua tujuan dari terapi yaitu: (1) menghentikan serangan akut dan simptomatik (tabel 3) dan (2) mencegah serangan kambuhan.

Menghentikan serangan akut dan simptomatik
1.Asam 5- aminosalisilat
Asam 5- minosalisilat atau yang dikenal sebagai sulfasalazine menjadi obat pilihan utama dalam pengobatan kolitis ulseratif yang ringan sampai sedang. Sedikit penelitian yang menerangkan adanya obat baru yang lebih baik dari sulfasalazine dalam mengontrol inflamasi. 20 dari 30% pasien mengalami intoleansi terhadap sulafasalazine atau dapat dikatakan alergi terhadap obat ini.

2.Kortikosteroid
Prednison dengan dosis 40- 60 mg/ hari secara oral terbukti dapat menyembuhkan 75- 90% pasien dengan kolitis ulseratif. Seperti pada penyakit crohn, pengunaan kortikosteroid jangka panjang tidak dianjurkan. Pasien yang diterapi dengan kortikosteroid harus diterapi berbarengan dengan asam 5-aminosalisilat untuk mendapatkan keuntungan obat tersebut yaitu ”steroid sparing effect”. Setelah terlihat adanya perbaikan, maka kortikosteroid di turunkan dngan cara ”tappering off” dalam jangka waktu 6-8 minggu.
Pasien yang tidak responsif terhadap asam 5-aminosalisilat, kemudan diterapi dengan hidrocortisone enema (100mg) satu sampai dua kali sehari. Kortikosteroid foam dan suppositoria dapat digunakan untuk pengobatan ulseratif proktitis. Tetapi absorbsi sistemik yang signifikan preparat tersebut dapat menyebabkan Cushing’s sindrome yang cepat.

3.Obat imunosupresant
Ada bukti yang mendukung keuntungan penggunaan analog purin, 6-mercaptopurine dan azathioprine untuk terapi kolitis ulseratif. Penggunaan imunosupresant diindikasikan jika pasien tidak respon atau ketergantungan terhadap kortikosteroid. Masih dimungkinkan untuk penggunaan 6-mercaptopurin dalam tahap awal penyakit pada beberapa pasien, tetapi penggunaannya jangan menunda keempatan untuk operasi pada kolitis yang ekstensif yang juga beresiko untuk menderita kanker. Penggunaan cyclosporin pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter terhadap kortikosteroid intravena dapat dicoba. Pada kelompok pasien ini cyclosporin intravena tampaknya menginduksi remisi cepat pada lebih 80% pasien. Toksisitas berkaitan dengan cyclosporin berupa kejang, hipertensi, nefrotoksik, dan juga resiko infeksi. Adanya efek samping tersebut harus dipertimbangkan untuk penggunaan jangka lama pada pasien yang gagal dengan terapi 6-mercaptopurin. Penggunaan methotrexate pada terapi kolitis ulseratif yang refrakter juga dapat dicoba. Hal yang terpenting adalah penggunaan obat imunosupresant harus dipikirkan kemanjuran dan toksisitasnya dibandingkan dengan outcome operasi.

4.Pembedahan
Secara umum indikasi terapi pembedahan adalah klitis ulseratif disertai perforasi, perdarahan hebat, displasia atau kanker, dan tidak respon terhadap 7-10 hari terapi kortikosteroid ataupun cyclosporin. Peran proktokolektomi pada pasien dengan penakit ekstensif yang lama masih kontroversial. Di masa lalu operasi standar untuk kolitis ulseratif adalah proctokolectomy baik disertai dengan ileostomy (Brooke) atau teknik yang lebih sulit continent ileostomy (Koch). Pada 15 tahun terakhir ilmu pembedahan modern telah menggantikan prosedur proctokolectomy sebelumnya. Prosedur ini adalah abdominal colectomi yang dilakukan dengan membuat anastomosis antara kantong (pouch) distal ileum dengan rektum distal (cuff). Biasanya diverting ileostomy dilakukan juga untuk memungkinkan pouch dan anastomosis menyembuh dalam beberapa bulan. Operasi ini disebut ileoanal pullthrough atau ileal pouch-anal anastomosis. Modifikasi terbaru dari operasi ini dilakukan dengan rectal mucosectomy dimana anastomosis dari ileal pouch ke rectum distal mendekati bagian atas linea dentate (1-4 cm). anastomosis ileal pouch-distal rectum ini lebih mudah dikerjakan terkadang tanpa harus dilakukan lagi diverting ileostomy. Komplikai yang sering terjadi pasca operasi adalah pouchitis yang ditandai dengan frekuensi defekasi yang meningkat, urgensi, kram, dan malaise. Hal tersebut berhubungan dengan adanya stasis dalam puoch. Gejala berespon baik terhadap metronidazol.

Table 3.
Kolitis distal
Proktitis
Mesalamine supositoria, 500 mg per rectum 2x1, atau
Hydrocortisone foam, 90 mg per rectum per hari, atau
Hydrocortisone supositoria, 100 mg per rectum per hari
Proktosigmoiditis
Mesalamine enema, 4 g per rektum per hari, atau
Hydrocortison enema, 100 mg per rektum per hari
Kolitis ekstensif
Ringan sampai berat
Sulfasalazine, 1.5-3 g oral 2x1, atau
Mesalamine tablet (lepas lambat), 2.4-4.8 g/hari, atau
Jika tanpa respon tambahkan prednison, 40-60 mg/hari (taper 5 mg/minggu)
Berat
Methylprednisolone, 48-60 mg IV per hari



Mencegah kekambuhan
Pasien yang gagal mencapai remisi harus diprogramkan untuk terapi rumatan dengan 5-asam aminosalisilat (Asacol, 800 mg-2.4 g/hari). Untuk penyakit yang ekstensif, sulfasalazine (1 g oral 2x1) atau olsalazine (500 mg atau 1 g 2x1) dapat digunakan. Pasien dengan lesi terbatas dapat diterapi dengan preparat rektal setiap 3 hari sekali. Dosis optimal untuk semua pasien harus diindividualisasikan.

2.10 Diagnosis Banding
Selain yang tercantum dalam tabel 1 yang harus dipikirkan adalah karsinoma kolon, divertikulitis, demam typoid, Crohn’s disease, tuberkulosis usus dan amubiasis. Biopsi dan pemeriksaan biakan perlu untuk menyingkirkan penyakit lain dan menentukan diagnosis.

2.11 Prognosis
Kolitis ulceratif adalah penyakit seumur hidup dikarakteristikkan dengan eksaserbasi dan remisi. Untuk sebagian besar pasien penyakit dapat dikontrol dengan terapi obat-obatan tanpa operasi. Sebagian besar tidak memerlukan rawat inap. Manajemen yang tepat, sebagian besar pasien dapat membuat hidup lebih produktif.

DAFTAR PUSTAKA


A. Price. S, Wilson. L. M, Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Buku 1. cetakan 1. 1995. EGC, Jakarta.

Anonim. The Merck Manual of Medical Information, 2nd ed. 2003. Merck & Co Inc. USA.

Harrison, Prinsip-Prinsip Ilmu Penyakit Dalam, Volume 4. Cetakan pertama 2000. EGC, Jakarta.

Longmore, M, Wilkinson, I. B, Rajagopalan, S. Oxford Handbook of Clincal Medicine, 6th ed. 2004. Oxford University Press, USA.

McQuaid, K. R, Alimentary Tract in Current Medical Diagnosis & Treatment, 44th ed. 2005. Mc Graw-Hill companies.

Purwono, H. Referat Kolitis Ulseratif. 2005. FK UII bagian Ilmu Penyakit Dalam.

No comments:

Post a Comment