Pages

Thursday, 29 October 2009

Hirschprung Disease (Megacolon Congenital)



TINJAUAN PUSTAKA

II.1. Anatomi Usus Besar
Usus besar merupakan tabung muscular berongga dengan panjang sekitar 5 kaki (sekitar 1,5 m) yang terbentang dari sekum sampai kanalis ani. Diameter usus besar lebih besar daripada usus kecil. Rata-rata sekitar 2,5 inchi (sekitar 6,5 cm), tetapi makin dekat anus diameternya makin kecil.5
Usus besar dibagi menjadi sekum, kolon, dan rektum. Pada sekum terdapat katup ileosekal dan apendiks yang melekat pada ujung sekum. Sekum menempati sekitar dua atau tiga inci pertama dari usus besar. Katup ileosekal mengontrol aliran kimus dari ileum ke sekum. Kolon dibagi lagi menjadi kolon ascendens, transversum, descendens, dan sigmoid. Tempat dimana kolon membentuk kelokan tajam yaitu pada abdomen kanan dan kiri atas berturut-turut dinamakan fleksura hepatika dan fleksura lienalis. Kolon sigmoid mulai setinggi krista iliaka dan berbentuk suatu lekukan berbentuk S. Lekukan bagian bawah membelok ke kiri waktu kolon sigmoid bersatu dengan rektum. Rektum terbebtang dari kolon sigmoid sampai dengan anus. Satu inci terakhir dari rektum terdapat kanalis ani yang dilindungi oleh sfingter ani eksternus dan internus. Panjang rektum sampai kanalis ani adalah 5,9 inci.5


Dinding kolon terdiri dari empat lapisan yaitu tunika serosa, muskularis, tela submukosa, dan tunika mukosa akan tetapi usus besar mempunyai gambaran-gambaran yang khas berupa: lapisan otot longitudinal usus besar tidak sempurna tetapi terkumpul dalam tiga pita yang disebut taenia koli yang bersatu pada sigmoid distal. Panjang taenia lebih pendek daripada usus sehingga usus tertarik dan berkerut membentuk kantong-kantong kecil yang disebut haustra. Pada taenia melekat kantong-kantong kecil peritoneum yang berisi lemak yang disebut apendices epiploika. Lapisan mukosa usus besar lebih tebal dengan kriptus lieberkuhn terletak lebih dalam serta mempunyai sel goblet lebih banyak daripada usus halus.

Vaskularisasi usus besar diatur oleh arteri mesenterika superior dan inferior. Arteri mesenterika superior memvaskularisasi kolon bagian kanan (mulai dari sekum sampai dua pertiga proksimal kolon transversum). Arteri mesenterika superior mempunyai tiga cabang utama yaitu arteri ileokolika, arteri kolika dekstra, dan arteri kolika media. Sedangkan arteri mesenterika inferior memvaskularisasi kolon bagian kiri (mulai dari sepertiga distal kolon transversum sampai rektum bagian proksimal). Arteri mesenterika inferior mempunyai tiga cabang yaitu arteri kolika sinistra, arteri hemorroidalis superior, dan arteri sigmoidea. Vaskularisasi tambahan daerah rektum diatur oleh arteria sakralis media dan arteria hemorroidalis inferior dan media. Aliran balik vena dari kolon dan rektum superior melalui vena mesenterika superior dan inferior serta vena hemorroidalis superior, yaitu bagian dari sistem portal yang mengalirkan darah ke hati. Vena hemorroidalis media dan inferior mengalirkan darah ke vena iliaka dan merupakan bagian dari sirkulasi sistemik. Ada anastomosis antara vena hemorroidalis superior, media, dan inferior sehingga peningkatan tekanan portal dapat mengakibatkan aliran balik ke dalam vena-vena ini dan mengakibatkan hemorroid.
Aliran pembuluh limfe kolon mengikuti arteria regional ke limfenodi preaorta pada pangkal arteri mesenterika superior dan inferior. Aliran balik pembuluh limfe melalui sistrna kili yang bermuara ke dalam sistem vena pada sambungan vena subklavia dan jugularis sinistra. Hal ini menyebabkan metastase karsinoma gastrointestinal bisa ada dalam kelenjar limfe leher (kelenjar limfe virchow). Aliran balik pembuluh limfe rektum mengikuti aliran pembuluh darah hemorroidalis superior dan pembuluh limfe kanalis ani menyebar ke nodi limfatisi iliaka interna, sedangkan aliran balik pembuluh limfe anus dan kulit perineum mengikuti aliran limfe inguinalis superficialis.6

Inervasi usus besar dilakukan oleh sistem saraf otonom kecuali sfingter eksternus yang diatur secara voluntar. Serabut parasimpatis berjalan melalui saraf vagus ke bagian tengah kolon transversum, dan saraf pelvikus yang berasal dari daerah sakral mensuplai bagian distal. Serabut simpatis yang berjalan dari pars torasika dan lumbalis medula spinalis melalui rantai simpatis ke ganglia simpatis preortika. Disana bersinaps dengan post ganglion yang mengikuti aliran arteri utama dan berakhir pada pleksus mienterikus (Aurbach) dan submukosa (meissner).6 Perangsangan simpatis menyebabkan penghambatan sekresi dan kontraksi, serta perangsangan sfingter rektum, sedangkan saraf parasimpatis mempunyai efek yang berlawanan. Kendali usus yang paling penting adalah aktivitas refleks lokal yang diperantarai oleh pleksus nervosus intramural (Meissner dan Aurbach) dan interkoneksinya. Jadi pasien dengan kerusakan medula spinalis maka fungsi ususnya tetap normal, sedangkan pasien dengan penyakit hirschsprung akan mempunyai fungsi usus yang abnormal karena pada penyakit ini terjadi keabsenan pleksus aurbach dan meissner.

II.2. Fisiologi Usus Besar
Fungsi usus besar yang utama adalah absorbsi air dan elektrolit. Setiap hari kolon mengabsorbsi ±600 ml air. Kapasitas absorbsi usus besar adalah sekitar 2000 ml / hari, jika kapasitas ini terlampaui maka akan terjadi diare. Berat akhir feses normal yang dikeluarkan sekitar 200 gr dengan komposisi terdiri dari 75% berupa air dan sisanya berupa residu makanan yng tidak diabsorbsi, bakteri, sel epitel yang mengelupas dan mineral yang tidak diabsorbsi.
Proses pencernaan makanan yang terjadi di usus besar dilakukan dengan bantuan bakteri di usus besar. Bakteri ini berfungsi mensintesis vit. K dan beberapa vit. B dan membantu pembusukan beberapa zat makanan seperti protein dan karbohidrat, serta membentuk berbagai gas yang dapat membantu pembentukkan flatus di kolon. Gas-gas tersebut adalah NH3, CO2, H2, H2S, dan CH4. Beberapa gas ini dikeluarkan dalam feses dan sisanya diabsorbsi dan diangkut ke hati untuk diubah menjadi senyawa kurang toksik dan diekskresikan melalui saluran kemih.
Pencernaan makanan di usus besar berlangsung karena adanya gerakan peristaltic yang propulsif. Ada dua jenis gerakan peristaltik yang propulsif yaitu: pertama adalah kontraksi lamban dan tidak teratur yang berasal dari segmen proksimal dan bergerak ke depan menghambat beberapa haustra. Kedua adalah gerakan peristaltik massa yaitu kontraksi yang melibatkan segmen kolon. Gerakan ini mengerakkan massa ke depan yang akhirnya merangsang defekasi
Adanya gerakan propulsi feses ke rektum mengakibatkan distensi dinding rektum dan merangsang refleks defekasi. Defekasi dikendalikan oleh sfingter ani eksterna dan interna. Sfingter ani eksterna bersifat voluntar sedangkan sfingter ani interna dikendalikan sistem saraf otonom. Saat rektum yang mengalami distensi berkontraksi, otot levator ani relaksasi sehingga menyebabkan sudut dan anulus anorektal menghilang. Otot-otot sfingter ani eksterna dan interna relaksasi waktu anus tertarik ke atas melebihi tinggi massa feses. Defekasi dapat dipercepat dengan adanya peningkatan tekanan intraabdomen. Defekasi juga dapat dihambat oleh kontraksi voluntar otot sfingter eksterna dan levator ani. Dinding rektum secara betahap akan relaks dan keinginan defekasi menghilang.

II.3. Definisi Penyakit Hirschsprung
Penyakit Hirschprung adalah kelainan kongenital dimana tidak dijumpai pleksus Aurbachii maupun pleksus Meissner pada kolon yang mengakibatkan hambatan gerakan peristaltik, sehingga akan terjadi ileus fungsional.1
II.4. Etiologi
Penyakit Hirschprung terjadi saat perkembangan fetus dimana terjadi kegagalan perkembangan serabut saraf, kegagalan migrasi serabut saraf, atau terhentinya perkembangan serabut saraf pada segmen usus.
Faktor genetik juga berperan dalam menyebabkan penyakit Hirschprung. 10% anak dengan Down syndrome (abnormalitas kromosom) menderita penyakit Hirschprung. Tahun 2001 teknik diagnostik molekuler menemukan 6 gen yang terlibat sebagai penyebab seseorang rentan menderita penyakit Hirscprung. Enam gen tersebut adalah gen RET, gen sel glial yang berperan sebagai neurotropik, gen reseptor B-Endothelin, enzim pengubah endothelin, gen Endothelin-3, SRY berhubungan dengan faktor transkripsi SOX 10.3
II.5. Epidemiologi
Angka kejadian penyakit Hirschprung di Amerika Serikat adalah 1 kasus diantara 5400-7200 kelahiran hidup.4
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi terjadinya kelainan tersebut yaitu:
1. Mortalitas / morbiditas
Angka kematian bayi dengan megacolon aganglionik yang tidak dirawat sebesar 80%, sedangkan angka kematian bayi yang mendapat tindakan pembedahan sangat rendah. 30% kematian penyakit Hirschprung disebabkan oleh enterocolitis. Komplikasi tindakan pembedahan adalah 5% karena kebocoran anastomosis, 5-10% karena striktura anastomosis, 5% karena obstruksi intestinum, 5% karena abses pelvis, 8% karena infeksi luka.4
2. Ras
Penyakit ini tidak berhubungan dengan ras.
3. Jenis kelamin
Penyakit ini lebih banyak terjadi pada laki-laki daripada wanita, dengan rasio perbandingan 4:1. Namun jika segmen usus yang aganglionosis lebih panjang maka insidensi pada wanita lebih besar daripada laki-laki.4
4. Usia
Penyakit Hirschprung tidak didapatkan pada bayi premature. Awal 1900an penyakit ini terjadi pada anak usia 2-3 tahun. Tahun 1950-1970 terjadi pada usia 2-6 bulan. Saat ini hampir 90% penyakit Hirschprung terjadi pada periode neonatus.4
II.6. Klasifikasi Penyakit Hirschsprung
Klasifikasi penyakit Hirschsprumg adalah sebagai berikut: 2
1. Hirschsprung segmen pendek
Pada morbus hirschsprung segmen pendek daerah aganglionik meliputi rektum sampai sigmoid, ini disebut penyakit hirschsprung klasik. Penyakit ini terbanyak (80%) ditemukan pada anak laki-laki, yaitu lima kali lebih banyak daripada perempuan.
2. Hirschsprung segmen panjang
Pada hirschsprung segmen panjang ini daerah aganglionik meluas lebih tinggi dari sigmoid.
3. Hirschsprung kolon aganglionik total
Dikatakan Hirschsprung kolon aganglionik total bila daerah aganglionik mengenai seluruh kolon.
4. Hirschsprung kolon aganglionik universal
Dikatakan Hirschsprung aganglionosis universal bila daerah aganglionik meliputi seluruh kolon dan hampir seluruh usus halus.
II.7. Patofisiologi
Motilitas normal saluran cerna secara primer diatur oleh serabut saraf intrinsik. Serabut saraf intrinsik terdiri dari pleksus Meissner, pleksus Aurbachii, dan pleksus mukosa kecil. Ganglia ini berfungsi mengatur kontraksi dan relaksasi otot halus (lebih dominan relaksasi). Ganglia ini juga berintegrasi dan terlibat dalam semua kerja usus, yaitu absorbsi, sekresi, dan motilitas.
Serabut saraf ekstrinsik terdiri dari serabut kolinergik dan adrenergik. Serabut kolinergik berperan dalam kontraksi usus, sedangkan serabut adrenergik berperan dalam menghambat kontraksi usus. Walaupun begitu jika inervasi serabut saraf ekstrinsik hilang, namun fungsi usus tetap adekuat karena yang lebih berperan dalam mengatur fungsi usus adalah serabut saraf intrinsik.
Pada penyakit ini terdapat absensi ganglion Meissner dan Aurbach dalam lapisan dinding usus, mulai dari sfingter ani ke arah proksimal dengan panjang yang bervariasi. 70-80% terbatas di daerah rectosigmoid, 10% sampai seluruh kolon dan sekitar 5% dapat mengenai seluruh usus sampai pilorus
Aganglionosis mengakibatkan usus yang bersangkutan tidak bekerja normal. Peristaltik tidak mempunyai daya dorong, tidak propulsif, sehingga usus bersangkutan tidak ikut dalam evakuasi feses ataupun udara. Obstruksi yang terjadi secara kronis akan menampilkan gejala klinis berupa gangguan pasae usus. Tiga tanda yang khas adalah mekonium keluar >24 jam, muntah hijau dan distensi abdomen. 8
Penampilan makroskopik yaitu bagian kolon yang aganglionik terlihat spastik, lumen kolon kecil, kolon tidak dapat mengembang sehingga tetap sempit dan defekasi terganggu. Gangguan defekasi ini berakibat kolon proksimal yang normal akan melebar oleh tinja yang tertimbun, membentuk megakolon.8
II.8. Diagnosis
Penyakit Hirschprung pada neonatus harus dibedakan dengan penyakit obstruksi saluran cerna lainnya. Diagnosis penyakit ini ditegakkan dengan anamnesis dan pemeriksaan fisik serta disertai dengan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis
- Adanya keterlambatan pengeluaran mekonium yang pertama, biasanya keluar >24 jam.
- Adanya muntah berwarna hijau.
- Adanya obstipasi masa neonatus, jika terjadi pada anak yang lebih besar obstipasi semakin sering, perut kembung, dan pertumbuhan terhambat.9
- Adanya riwayat keluarga sebelumnya yang pernah menderita keluhan serupa, misalnya anak laki-laki terdahulu meninggal sebelum usia 2 minggu dengan riwayat tidak dapat defekasi.6
Pemeriksaan Fisik
- Pada neonatus biasa ditemukan perut kembung karena mengalami obstipasi
- Bila dilakukan colok dubur maka sewaktu jari ditarik keluar maka feses akan menyemprot keluar dalam jumlah yang banyak dan kemudian tampak perut anak sudah kempes lagi.
Pemeriksaan penunjang
A. Biopsi
Biopsi yang dilakukan dapat dengan dua cara yaitu biopsy rectal dengan pengambilan sample yang tebal dan biopsy rectal dengan penyedotan sederhana. Keuntungan cara yang pertama adalah hasil PA yang didapatkan mempunyai gambaran yang khas namun cara ini agak rumit karena sebelum biopsy dilakukan prosedur seperti operasi dengan anastesi umum, serta resiko perdarahan lebih besar. Cara yang kedua mempunyai keuntungan berupa prosedurnya yang tidak rumit, resiko perdarahan lebih sedikit, akan tetapi gambaran PA tidak khas.
Hasil PA penyakit Hirschprung pada umumnya didapatkan dinding rectum dari lapisan mukosa sampai muskularis tidak didapatkan adanya ganglion Meissner dan Aurbachii.
B. Foto Rontgent
Pemeriksaan yang merupakan standard dalam menegakkan diagnosa Hirschsprung adalah barium enema, dimana akan dijumpai 3 tanda khas :
1. Tampak daerah penyempitan di bagian rektum ke proksimal yang panjangnya bervariasi;
2. Terdapat daerah transisi, terlihat di proksimal daerah penyempitan ke arah daerah dilatasi;
3. Terdapat daerah pelebaran lumen di proksimal daerah transisi .9
II.9. Diagnosis Banding
1. Meconium plug syndrome
Riwayatnya sama seperti permulaan penyakit Hirscprung pada neonatus, tapi setelah colok dubur dan mekonium bisa keluar, defekasi selanjutnya normal.
2. Akalasia recti
Keadaan dimana sfingter tidak bisa relaksasi sehingga gejalanya mirip dengan Hirschprung tetapi pada pemeriksaan mikroskopis tampak adanya ganglion Meissner dan Aurbach.

3. Konstipasi psikogenik
Pada anak-anak berusia 4-5 tahun dimana mereka malas defekasi (sering 1 minggu sekali) sehingga perut tampak kembung dan pertumbuhan tubuh buruk. Biasanya pada anak-anak ini ada sebabnya, misalnya ketakutan, tidak puas, merasa terasing, dan lain-lain.
II.10. Terapi
1. Tindakan pertama pada neonatus
Dibuat kolostomi sementara pada bagian usus yang sudah mengandung ganglion; biasanya dibuat sigmoidostomi one loop, yaitu anus dan ujung paling proksimal dari bagian usus yang aganglioner dijahit rapat / ditutup kemudian bagian sigmoid yang mengandung ganglion ini dimuarakan pada kulit.9
2. Tindakan definitif
Adalah membuang bagian yang aganglioner, tapi tetap mempertahankan anus.
bermacam-macam teknik operasi, yaitu:
- Swenson
- Rehbein / David State
- Duhamel
- Soave
a. Metode Swenson
Dibuang bagian yang aganglioner dan bagian sisa di rektum dibalikkan keluar, kemudian bagian yang sehat ditarik dan ditembuskan keluar anus dan dilakukan anastomosis di luar. Setelah selesai kembali didorong ke dalam. Cara ini disebut juga metode pull through Swenson.9
Operasi ini memerlukan waktu lama dan dapat dilakukan setelah anak berusia 2-3 tahun dengan berat badan 12-13 kg. Sekarang ternyata banyak anak laki-laki yang menjalani opersi dengan teknik ini mengalami impoten karena operasi ini merusak saraf-saraf yang menuju genital, terutama yang melekat pada prostat.9
b. Metode Rehbein / State
Anastomosis tetap dilakukan dengan rektum sisa berada di dalam; ini berarti bagian yang ditinggalkan itu harus lebih panjang untuk memungkinkan penjahitan yang berarti pula bahwa ada bagian aganglioner yang ditinggalkan.
Menurut Rehbein walaupun cara ini tidak sehebat Swenson tapi cukup memadai karena anak dapat defekasi 2-3 hari sekali dan tidak timbul kelainan impotensi, akan tetapi cara ini mudah terjadi residif.
c. Metode Duhamel
Bagian yang aganglioner tidak dibuang, hanya pada bagian proksimal dari bagian ini dijahit. Bagian yang hipertrofi dibuang sampai pada bagian yang berdiameter normal dan ini kemudian ditarik ke arah anal disambungkan tepat di atas muskulus sfingter ani eksternus pada sisi belakang dari rektum. Jadi dilakukan colo rectostomy end to side, dengan ini sfingter ani eksternus tetap dipakai, sedangkan bagian yang aganglioner tidak dipakai.
Menurut metode Duhamel ini, saraf-saraf yang melekat pada prostat tidak diganggu gugat, trauma operasi kecil sehingga dapat dilakukan pada bayi-bayi usia 8-9 bulan, bahkan ada yang berani pada bayi usia 4 bulan. Malah pada bayi-bayi yang datang terlambat, misalnya telah berusia 3-4 bulan dapat langsung dikerjakan metode Duhamel tanpa mengadakan kolostomi dahulu.9
d. Metode Soave
Prosedur ini sebenarnya pertama sekali diperkenalkan Rehbein tahun 1959 untuk tindakan bedah pada malformasi anorektal letak tinggi. Namun oleh Soave tahun 1966 diperkenalkan untuk tindakan bedah definitif Hirschsprung.
Tujuan utama dari prosedur Soave ini adalah membuang mukosa rektum yang aganglionik, kemudian menarik terobos kolon proksimal yang ganglionik masuk kedalam lumen rektum yang telah dikupas tersebut
3. Terapi medikamentosa
Digunakan antibiotik yang potensial yang dapat membunuh berbagai jenis bakteri seperti bakteri gram positif dan negatif serta bakteri anaerob. Sebaiknya sebelum menentukan jenis antibiotik yang dipilih dilakukan kultur sensitivitas sehingga terapi yang diberikan efektif.4
- Ampicilin inj 25mg / kg BB 4 x 1 untuk membunuh bakteri gram positif
- Gentamicin inj 2,5mg / kg BB 3 x 1 untuk membunuh bakteri gram negatif
- Metronidazole inj 7,5mg / kg BB 4 x 1 untuk membunuh bakteri anaerob
4. Terapi non medikamentosa
- Diet : sebelum operasi pasien dinjurkan untuk puasa, setelah dilakukan operasi dan fungsi usus dapat bekerja optimal dapat diberikan ASI atau susu formula melalui NGT, dan untuk beberapa pasien dapat diberikan diet tinggi serat seperti buah dan sayuran
- Selama 6 minggu pasien dianjurkan untuk membatasi aktivitas agar luka operasi dapat sembuh baik.4
II.11. Komplikasi
1. Enterocolitis
- Enterocolitis terjadi karena proses peradangan mukosa kolon dan usus halus. Semakin berkembang penyakit hirschprung maka lumen usus halus makin dipenuhi eksudat fibrin yang dapat meningkatkan resiko perforasi. Proses ini dapat terjadi pada usus yang aganglionik maupun ganglionik. Enterokolitis terjadi pada 10-30% pasien penyakit Hirschprung terutama jika segmen usus yang terkena panjang.4
- Gejala klinis berupa: diare eksplosif, distensi abdomen, demam, muntah, dan lethargy.4
- Cara mengatasinya yaitu dengan pemberian antibiotik dosis tinggi secara intravena dan irigasi yang agresif. Beberapa ahli menyebutkan dapat dilakukan enterostomi pada bagian proksimal dari zona transisi.4

2. Komplikasi pada saluran pencernaan akibat prosedur pembedahan
- Peningkatan resiko enterokolitis setelah operasi dengan metode Swenson
- Peningkatan resiko konstipasi setelah operasi dengan metode Duhamel
- Peningkatan resiko diare dan inkontinensia dengan metode Soave
3. Komplikasi umum berupa: kebocoran anastomosis, striktura anastomosis, obstruksi usus, abses pelvis dan infeksi luka operasi.4
II. 12. Prognosis
Secara umum prognosisnya baik, 90% pasien dengan penyakit hirschprung yang mendapat tindakan pembedahan mengalami penyembuhan dan hanya sekitar 10% pasien yang masih mempunyai masalah dengan saluran cernanya sehingga harus dilakukan kolostomi permanen. Angka kematian akibat komplikasi dari tindakan pembedahan pada bayi sekitar 20%.

DAFTAR PUSTAKA
1. Komite Medik RSUP DR Sardjito, (1997), Standar Pelayanan Medis RSUP DR Sardjito, Bagian 3, Bab XVII, hal. 144-5, Medika FK UGM, Yogyakarta
2. Sjamsuhidajat dan Wim de jong, (1997), Buku Ajar Ilmu Bedah, Tindakan Bedah: organ dan sistem organ, usus halus, apendiks, kolon, dan anorektum, Kelainan bawaan, Bagian 3, Bab 29, hal. 908-10, EGC, Jakarta
3. Anonim, (2004), Hirschprung’s disease,
http://www.caremark.com/wps/portal/_s.155/5522/.cmd/ad/.pm/-/.c/1703/.ce/5535/.p/3711/_s.155/5522?pc_3711_docid=CMS-2-MM000659
4. Lee, Steven L, (2005), Hirschprung disease,
http://www.emedicine.com/med/topic 1016. htm
5. Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, (1995), Patofisiologi :Konsep Klinis, Proses-Proses Penyakit, Bab 26, hal. 409-12, EGC, Jakarta
6. Sabiston, (1994), Buku Ajar Bedah bagian 2, Penyakit kolon dan rektum, Bab 26, hal. 14-18, EGC, Jakarta
7. Richard E. Behrman dan Victor C. Vaughan, (1993), Nelson: Ilmu Kesehatan Anak bagian 2, Bab 29, hal. 426-29, EGC, Jakarta
8. Staf Pengajar FK UI Bagian Bedah, (1995), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah, Bedah anak, Bab 3, hal. 139-41, binarupa Aksara, Jakarta
9. Anonim, (1987), Kumpulan Kuliah Ilmu Bedah Khusus, Bedah khusus anak: Penyakit Hirschprung, Bab IV, hal. 140-6, Aksara Medisina, Jakarta

No comments:

Post a Comment